Tren Bunuh Diri, Benarkah Jadi Solusi?
Tren Bunuh Diri, Benarkah Jadi Solusi?
Oleh : Poppy Kamelia P, B.A.Psych.
(Parenting Islamic Coach, Penulis, Pegiat Dakwah)
LenSaMediaNews.com – Belakangan ini media sosial sedang digemparkan dengan banyaknya kabar bunuh diri dari para mahasiswa. Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, mengaku sangat prihatin dengan kejadian dua kasus dugaan bunuh diri yang dilakukan mahasiswa.
Ada dua kasus dugaan bunuh diri di Semarang. Pertama dilakukan oleh NJW (20) asal Ngaliyan, Semarang, seorang mahasiswa PTN yang ditemukan tewas di Paragon Mall Semarang pada Selasa (10/10/2023). Peristiwa kedua, mahasiswa swasta asal Semarang, inisial EN (24), warga Kapuas, Kalimantan Tengah, ditemukan tewas di kamar indekosnya, Rabu (11/10/2023). (Republika.co.id, 13/10/2023)
Kejadian ini tentu bukan suatu kebetulan. Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia, mungkin empat kali lebih tinggi dari data resmi. Beberapa ahli mengatakan kurangnya data telah mengaburkan sejauh mana sebenarnya masalah bunuh diri di Indonesia. WHO sendiri menyatakan bahwa pada tahun 2019, bunuh diri menjadi penyebab kematian keempat pada orang berusia 15 hingga 29 tahun di seluruh dunia. (BBC News Indonesia, 25/01/2023)
Menurut situs resmi Kementerian Kesehatan (6/09/2022), depresi menjadi penyebab utama bunuh diri pada individu. Depresi adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius. WHO mengatakan depresi adalah penyakit paling umum keempat di dunia dan diperkirakan akan menjadi masalah gangguan kesehatan mental utama.
Inilah gambaran generasi muda hari ini. Generasi yang mudah menyerah, depresi, dan mudah terluka. Pada akhirnya, bunuh diri seringkali menjadi pilihan terakhir untuk menyelesaikan masalah.
Jelas terlihat bahwa sistem sekuler yang mengatur kehidupan manusia saat ini hanya menciptakan masyarakat yang penuh tekanan. Terlebih sulitnya memperoleh kebutuhan dan mengakhiri permasalahan dalam hidup dengan melakukan bunuh diri. Inilah sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan dan menghalangi orang untuk yakin dan percaya bahwa Sang Pencipta dan aturan-aturan-Nya dapat menyelamatkan mereka di dunia ini dan di akhirat.
Mentalitas generasi muda saat ini tak ubahnya seperti “mental tempe”. Kematangan emosinya telah mencapai titik terendah. Mereka mudah depresi, pragmatis terhadap dinamika kehidupan, perjuangan hidupnya menuju ke arah yang salah, serta jauh dari karakter orang yang mampu menyelesaikan masalah (problem solver). Parahnya, mereka malah menjadikan bunuh diri sebagai solusi. Namun mereka juga menolak dicap sebagai orang yang kurang beriman atau tidak mampu berjuang. Pada hakikatnya, tindakan bunuh diri merupakan bukti rendahnya tingkat kepercayaan dan kurangnya kesadaran yang kuat akan hubungan manusia dengan Al Khalik.
Kondisi ini berawal dari sistem sekularisme, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, menjauhkan mahasiswa dari rasa kemanusiaan dan cenderung hedonis. Mereka tidak lagi takut dosa, apalagi terhadap Tuhan. Pun pendidikan sekuler telah menyebarkan racun liberalisme dan pendidikan nir-agama. Dan hal ini berhasil membuat para mahasiswa “teler”, lemas dan tidak berdaya. Maka kita harus menyadari bahayanya sistem ini, karena inilah yang menjadi landasan kehidupan saat ini.
Di sisi lain, orang tua pun tidak berperan baik dalam mendidik dan menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Pada Akhirnya, anak-anak tumbuh dengan jiwa antisosial, pemarah, tidak mau kalah, miskin empati, dan bermental lemah. Negara di sistem ini juga “mandul” dalam menghadapi lingkungan sosial remaja yang hedonis. Sebaliknya, negara menakut-nakuti generasi muda dan orang tua dengan ide-ide radikalisme, hingga negara menggunakannya untuk memerangi radikalisme di kampus dan masyarakat. Padahal Negara sendiri belum meningkatkan kesadaran untuk mencegah perkelahian, pergaulan bebas, kekerasan, dan meningkatnya insiden bunuh diri mahasiswa. Bagaimanapun, dampak buruk terhadap generasi muda akan terus terjadi jika sistem ini terus dibiarkan, karena sistem sekuler tidak mendukung generasi muda untuk melindungi mereka dari kerusakan.
Lain halnya dengan Islam. Yakni Islam memberi perhatian besar kepada generasi, bahkan sejak dini. Dalam Islam, negara wajib menjamin akses pendidikan pada semua warga negara secara cuma-cuma, tetapi tetap berkualitas, hingga akhirnya menghasilkan individu yang kokoh serta mandiri. Ini bukanlah dongeng melainkan telah terbukti pada masa kegemilangan Islam.
Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk menyelamatkan generasi ini adalah dengan menerapkan sistem Islam dalam institusi negara. Sistem ini terbukti berhasil melahirkan generasi yang berkarakter Islami, spiritualitas yang kuat, dan pemikiran yang cemerlang.
Wallahu’alam bishowwab.