Hentikan Sekulerisasi Ramadan!
Oleh : Anita Sya’ban
(Lingkar Studi Muslimah Bali)
Lensa Media News-Bulan Ramadan adalah bulan mulia, bulan yang paling dirindukan kehadirannya oleh tiap Muslimin. Dimana pada bulan suci ini, setiap amalan baik dilipat gandakan pahalanya, demikian pula dengan dosa-dosa akan Allah ampuni bagi yang memohon dan bertaubat kepadaNya.
Semua orang berlomba-lomba mengisi bulan ini dengan berbuat amal kebaikan. Memperbaiki dan memperbanyak ibadah mahdhoh demi semaksimal mungkin memperoleh pahala di bulan mulia ini.
Namun rupanya di Situbondo, para pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Situbondo tetap boleh menjalankan aktivitas seperti biasa dengan syarat diwajibkan tarawih dan tadarus. Ada beragam respons, sebagian menilai bermanfaat, sebagian lain menilai kebijakan itu hanya akal-akalan saja ( detik.com, 24/03/2023).
Ketika umat Muslim yang lain sedang berupaya beramal shalih, nyatanya masih saja ada yang tetap melakukan maksiat. Begitulah yang terjadi di kehidupan sekuler saat ini. Bukanlah perkara baru atau sesuatu yang luar biasa, justru perkara ini sangat normal terjadi.
Ketika kehidupan sudah dipisahkan dari agama. Aturan agama dan ibadah hanya berada dalam area tertentu saja, seperti rumah ibadah dan ruang privat. Aturan agama tidak lagi menjadi lebih penting dari materi. Karena sejatinya kebahagian dalam konsep sekularisme terletak pada kepuasan jasadiah belaka, yaitu kebebasan dalam menjalankan kehidupan juga memiliki harta benda yang mewah tanpa perlu melihat halal atau haramnya.
Pergeseran perasaan dan pemikiran ini tentulah mengabaikan aturan-aturan yang semula ada di dalam masyarakat. Terlebih aturan agama yang tentunya memiliki sanksi hukum tersendiri akan masalah perzinahan. Sangat jelas sekali Allah Ta’ala menyampaikan dalam surah Al Isra [17] ayat 32, larangan mendekati zina yang merupakan perbuatan keji dan jalan yang buruk.
Adapun hukumannya jelas bagi pelakunya yaitu pelaku ghairu muhshon ( belum menikah) akan didera sebanyak 100 kali yang harus disaksikan oleh masyarakat, pelaku muhshon ( sudah menikah) akan dirajam juga disaksikan oleh masyarakat. Salah satu tujuannya tidak lain adalah sebagai pencegahan agar tidak berulangnya maksiat tersebut.
Sungguh berbeda keadaannya dengan yang terjadi saat ini. Tidak ada tindakan tegas untuk menghentikan perilaku maksiat itu. Hanya disyaratkan agar mengikuti tarawih dan tadarus, sehingga akan muncul berbagai dalih dan alasan. Seharusnya perilaku tersebut butuh penanganan yang jelas terlebih pada saat Ramadan maupun di luar Ramadan.
Bukankah jelas hadist Rasulullah Saw, “Apabila telah merebak riba dan zina di suatu negeri, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan diri mereka sendiri atas adzab Allah”. (HR. al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani). Maka tak hanya menyia-nyiakan tapi bahkan telah melecehkan bulan suci Ramadan, perilaku maksiat yang dibiarkan ini tentunya mengundang azab Allah.
Hanya dengan penerapan Islam kafah sajalah yang tentunya dapat menyelesaikan permasalahan ini secara total. Dengan penerapan aturan Islam yang sempurna dan menyeluruh tidak setengah-setengah, tentu akan mengembalikan kita kepada kehidupan Islam. Wallahu’alam bishowab. [LM/ry].