Olahraga Berjaya, Quo Vadis Rakyat
Oleh : Hesti Andyra
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News-Kontingen Indonesia berhasil menyabet 87 medali emas, 80 perak, dan 109 perunggu di ajang SEA Games ke-32 baru-baru ini di Kamboja, Thailand. Sebuah pencapaian luar biasa yang meningkatkan prestise Indonesia di mata dunia. Terlebih lagi ketika skuat Garuda Muda, julukan tim sepak bola U22, berhasil melepas dahaga kemenangan selama 32 tahun setelah mengalahkan Thailand dalam pertandingan sengit yang berakhir dengan skor 3-2.
Pemerintah bersuka cita. Tak sia-sia rasanya menggelontorkan dana APBN sebesar Rp852,2 miliar bagi tim Indonesia untuk berlaga di SEA Games ke 32 seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani (cnn.indonesia.com, 17/05/2023). Dana fantastis tersebut dibagi menjadi 3 pos dengan rincian Rp522 miliar untuk pembinaan atlet, Rp55,2 miliar untuk pengiriman kontingen, dan Rp275 miliar untuk pemberian bonus bagi peraih medali (atlet/pelatih/asisten pelatih).
Rakyat pun ikut berbangga sampai-sampai memberi julukan “Pahlawan Olahraga” bagi para peraih medali emas. Semua larut dalam euforia kemenangan. Menghabiskan anggaran sedemikian besar demi kebanggaan menjadi pemenang kompetisi internasional dianggap wajar. Di sisi lain berbagai persoalan penting dan mendesak terkait bencana kemanusiaan seperti diabaikan.
Sebagai contoh, wacana santunan pemerintah bagi ahli waris dan korban kasus gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI) yang meninggal dunia sempat dilontarkan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi beberapa waktu lalu. Sebuah usulan yang cukup menjadi angin segar bagi masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab kelalaian pemerintah terhadap peredaran obat sirup yang tercemar zat kimia berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol (EG/DEG).
Kontradiktif dengan pernyataan Menkes, Mensos Tri Rismaharini, justru menyatakan Kemensos tidak memiliki cukup anggaran untuk memberikan santunan bagi korban gagal ginjal akut (kompas.com, 21/03/2023). Pemerintah berdalih telah kehabisan anggaran karena terpakai untuk kasus kerusuhan Kanjuruhan. Sungguh miris, seolah tidak ada koordinasi antar lembaga pemerintah hingga terjadi saling lempar tanggung jawab antar pihak yang terkait.
Belum lagi kasus stunting yang cukup tinggi, mencapai 24 % pada tahun 2021. Stunting adalah gangguan pertumbuhan pada anak yang mempengaruhi pertumbuhan tinggi kembangnya. Kondisi ini terjadi akibat masalah gizi kronis atau kekurangan asupan gizi dalam waktu yang lama. Kesulitan ekonomi menjadi faktor utama yang menyebabkan orangtua kesulitan memberi makanan sehat dan bergizi untuk buah hatinya.
Beberapa contoh yang tersebut hanyalah sebagian kecil dari berbagai persoalan yang membelit rakyat. Paradigma kapitalisme menjadikan kebanggaan semu menjadi salah satu cara menunjukkan keberhasilan yang fana dengan menafikkan masalah yang sesungguhnya. Tata kelola pemerintahan yang tidak berdasarkan syariat tidak akan pernah berpihak kepada rakyat.
Negara harus menentukan masalah umat yang menjadi prioritas dan mengatasinya dengan segera. APBN harus dibelanjakan sesuai syariat, Aspek keuangan mempunyai kepentingan khusus pada harta dalam negara Islam karena keberadaannya tidak bisa lepas dari hukum syara, yang harus dikelola demi kemaslahatan umat sebagaimana sabda Rasulullah saw.,”Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari).
Islam menetapkan tata kelola ekonomi dan aktivitas perekonomian berdasarkan perintah dan larangan Allah. Segala aturan yang berkaitan dengan aktivitas perekonomian harus terikat dengan hukum syara yang dituangkan dalam perundang-undangan. Dengan demikian, negara akan memprioritaskan anggaran belanja negara pada hal yang lebih berkaitan dengan kesejahteraan umat berdasarkan urgenitasnya. Wallahu’alam bisshawab.[LM/ry]