Mudik Aman dan Nyaman Hanya Sekadar Angan-angan
Mudik Aman dan Nyaman Hanya Sekadar Angan-angan
Oleh : Yani Ummu Qutuz
(Pegiat Literasi dan Member AMK)
LenSaMediaNews.com – Mudik adalah peristiwa tahunan yang ditunggu-tunggu oleh para perantau yang hidup di kota-kota besar. Selama 11 bulan mereka bekerja di rantau, jelang Idul Fitri mereka kembali ke kampung halaman untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Mudik adalah perjalanan yang panjang, sejatinya harus dinikmati dengan perjalanan yang menyenangkan. Namun fakta di lapangan menunjukkan, berdasarkan evaluasi tahun-tahun sebelumnya, volume kendaraan selalu padat selama arus mudik maupun arus balik. Otomatis kemacetan pun tidak dapat dihindarkan. Sehingga membuat perjalanan tidak nyaman.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi memperkirakan, jumlah pemudik pada lebaran 2023 mencapai 123,8 juta orang. Angka itu naik 85,5 juta orang pada mudik lebaran 2022. Jumlah ini lebih besar dari jumlah pemudik tahun-tahun sebelumnya, sama dengan 46% jumlah penduduk sebelumnya. Ini berarti pada libur lebaran ini hampir setengah penduduk Indonesia melakukan mudik bersama antar kota.
Berbagai langkah dilakukan pihak kepolisian untuk mengantisipasi kemacetan, tetapi masalah yang sama saat mudik terus berulang. Macet dan infrastruktur yang rusak menjadi masalah saat mudik. Seolah PR menahun yang tak kunjung beres terkait layanan transportasi ini. Jangan salahkan ketika rakyat bertanya, lantas apa saja yang dilakukan pemerintah sebelum momen mudik dalam masalah perbaikan layanan transportasi? Faktanya, jalan tidak sepenuhnya diperbaiki secara optimal dan sempurna. Jalan yang rusak biasanya hanya diperbaiki bagian yang rusaknya saja.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah melambungnya harga tiket moda transportasi yang sangat memberatkan penumpang. Padahal kebutuhan yang harus dikeluarkan oleh pemudik pada momen hari raya lebih besar dibanding hari-hari biasa. Akhirnya untuk menekan biaya perjalanan, pemudik lebih memilih mudik dengan sepeda motor. Padahal mudik dengan menggunakan sepeda motor beresiko tinggi. Dengan jarak tempuh yang panjang akan lebih melelahkan dan berbahaya.
Penguasa seperti tutup mata dalam masalah ini. Buktinya pada saat momen lebaran ini, mereka lebih fokus menjalin kerjasama ekonomi dengan para pengusaha layanan transportasi daripada memikirkan harga tiket yang terjangkau.
Nampaknya pemerintah tak bersungguh-sungguh dalam mengelola layanan transportasi. Perbaikan jalan yang kejar tayang, harga tiket yang mencekik, menggambarkan abainya penguasa dalam menyediakan layanan terbaik di sektor transportasi. Jaminan layanan transportasi yang aman dan nyaman mungkin hanya sekedar angan-angan bagi pemudik.
Memang pemerintah mendirikan berbagai ruas jalan tol trans pulau, tetapi tak semanis janji pembangunannya. Infrastruktur jalan tol yang jaraknya terlalu panjang dan minim sarana peristirahatan di titik-titik tertentu, justru rawan terjadi kecelakaan.
Sementara jalur Pantura yang merupakan ruas jalan strategis lama malah terbengkalai, sehingga mematikan ekonomi rakyat yang telah bertahun-tahun menggantungkan nasib di jalur tersebut. Sungguh merana nasib rakyat, momen mudik dijadikan alat mengumpulkan cuan oleh para penguasa dan pengusaha besar. Dompet mereka terkuras habis setelah bersusah payah mengumpulkan uang selama setahun untuk biaya mudik. Beginilah nasib rakyat dalam sistem kapitalisme sekuler, selalu jadi korban bagi pemilik kekuasaan.
Bagaimana dengan Islam? Islam memposisikan rakyat sebagai pihak yang harus diurus. Khilafah sebagai sistem pelaksana syariat Islam yang sempurna, paham betul arti penting mudik. Mudik bukan sekedar seremonial tahunan tanpa makna. Khilafah memaknai bahwa mudik adalah satu dari berbagai pelaksanaan syari’at Islam. Mudik adalah untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga di kampung halaman. Ada aktifitas birrul walidain dan silaturahmi di dalamnya, setelah sekian lama merantau.
Khalifah adalah pihak yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan mudik berjalan aman dan nyaman bahkan gratis. Khalifah akan memerintahkan para pegawainya terkait layanan transfortasi untuk menyediakan banyak tempat peristirahatan untuk para pemudik di perjalanan.
Islam memandang para pemudik itu sama seperti musafir yang bisa digolongkan sebagai ibnu sabil. Yaitu mereka yang kehabisan biaya diperjalanan dalam ketaatan kepada Allah. Mereka termasuk salah satu golongan yang wajib menerima zakat. Tujuan mereka mudik adalah birrul walidain dan silaturahmi yang merupakan perjalanan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Maka tidak ada istilah tidak bisa mudik karena tidak punya biaya.
Pemudik yang merupakan golongan ibnusabil memiliki posisi penting. Do’a seorang musafir adalah do’a yang diijabah oleh Allah, maka jangan sampai mereka terzalimi dengan infrastruktur jalan yang rusak serta harga tiket yang melambung.
Begitu menyenangkan aktifitas mudik dalam sistem Khilafah. Perayaan Idul Fitri menjadi sangat bermakna dan sempurna sebagai buah takwa pasca Ramadan.
Wallahu ‘alam bishowwab.