Ada Cuan di Balik Sertifikasi Halal
Oleh: Triana Noviandari
(Pegiat Literasi, Malang)
LenSaMediaNews.com – Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, penting untuk memastikan segala produk yang dikonsumsinya adalah halal. Namun, di tengah berbagai produk kebutuhan sehari-hari yang beredar, masih ada produk-produk yang belum memiliki sertifikat halal. Untuk menangani permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan agar pelaku usaha segera mendaftarkan produknya untuk memiliki sertifikat halal.
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama Muhammad Aqil Irham memaparkan, berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014, produk yang beredar di tengah masyarakat wajib bersertifikat halal. Produk tersebut antara lain makanan dan minuman, bahan baku, bahan tambahan pangan, bahan penolong untuk produk makanan dan minuman, serta produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.
Kewajiban sertifikat halal tahap pertama akan berakhir pada 17 Oktober 2024. Jika tidak memiliki sertifikat halal maka Kemenag akan menjatuhkan sanksi kepada para pelaku usaha yang menjual produk tersebut. Sanksi yang diberikan mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran (cnnindonesia.com).
Pelaku usaha dapat mengurus sertifikasi halal ke BPJPH. Pengurusan sertifikasi ini akan dikenakan tarif yang telah ditentukan. Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dikenakan tarif Rp. 650.000, sedangkan usaha menengah biayanya Rp. 8.000.000.
Sertifikasi Halal Celah Mendapat Cuan
Halal dan haram bagi setiap muslim bukanlah perkara main-main. Ini adalah perkara yang harus jelas dan pasti. Oleh karena setiap muslim akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat terhadap apa yang masuk ke dalam perutnya.
Mengonsumsi produk halal merupakan perintah wajib dari Allah SWT, sebagaimana yang tercantum dalam firmanNya, “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik” (QS Al-Maidah : 88).
Setiap muslim wajib memastikan bahwa dirinya mengonsumsi barang yang halal. Akan tetapi, untuk mendapatkan produk halal saat ini tidaklah mudah, karena barang yang haram juga banyak beredar di tengah masyarakat. Bahkan produk-produk impor makin membanjiri pasar dalam negeri, padahal masih banyak yang belum memiliki label halal. Hal ini membuat rakyat merasa waswas untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang dijual di pasaran.
Mengingat pentingnya perkara ini, memastikan produk halal untuk dikonsumsi tidak bisa hanya diserahkan kepada individu rakyat. Pemerintah wajib menjamin beredarnya produk halal di tengah masyarakat. Ini adalah salah satu peran penting pemerintah sebagai penanggung jawab segala urusan rakyat.
Namun, dalam sistem kapitalisme, sertifikasi halal justru dimanfaatkan sebagai celah untuk meraup cuan. Pelaku usaha harus membayar biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan sertifikasi halal. Jika pelaku usaha memiliki beberapa jenis produk, tentu biaya yang dikeluarkan semakin besar. Padahal pelaku usaha sudah banyak dikenakan biaya lain, seperti pajak, izin mendirikan usaha, biaya retribusi dan lain-lain.
Banyaknya biaya yang sudah dikeluarkan tersebut membuat pelaku usaha terkadang tak mampu mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikasi halal. Apalagi, proses sertifikasi kerap membutuhkan syarat yang rumit hingga memerlukan waktu yang lama. Alhasil, tidak semua pedagang bisa mendapatkan sertifikasi halal, meski produk yang dibuatnya bebas dari zat haram. Jaminan sepenuhnya terhadap kehalalan produk tentu tidak akan terwujud dengan kondisi seperti ini.
Islam Menjamin Produk Halal
Islam memandang bahwa barang haram bukanlah barang ekonomi yang boleh diperjualbelikan. Produk yang beredar di tengah masyarakat muslim wajib produk halal saja, sedangkan produk haram hanya boleh beredar di kalangan non-muslim. Produk yang haram ini tentu akan jauh lebih sedikit daripada produk halal. Oleh karena itu, agar lebih efektif, produk yang haram lah yang akan diuji dan mendapatkan label haram. Pengujian produk pun wajib dengan mekanisme yang sederhana dan murah, sebagaimana prinsip lembaga administrasi dalam Islam.
Peredaran produk di tengah masyarakat akan mendapat pengawasan dari negara. Negara memberikan wewenang tersebut kepada qadhi hisbah, yaitu hakim yang mengadili hak-hak masyarakat secara umum. Qadhi hisbah ini bertugas melakukan pengawasan produk secara rutin ke pasar, tempat pemotongan hewan, ataupun pabrik untuk memastikan kehalalannya. Ketika terjadi pelanggaran, maka qadhi hisbah berhak menjatuhkan sanksi pada saat itu juga. Sanksi bisa berupa pelarangan produk untuk beredar, atau pelaku usaha yang menjual barang haram bisa dijatuhi hukuman ta’zir.
Demikianlah pengaturan dalam Islam dalam menjamin produk halal untuk dikonsumsi rakyatnya. Tentu jaminan ini akan membuat rakyat tenang dalam memenuhi kebutuhan mendasarnya. Maka, sudah saatnya Islam menjadi hukum untuk mengatur urusan publik, bukan hanya mengatur ibadah ritual saja. Semua pengaturan ini hanya akan terwujud ketika negara menerapkan Islam secara kafah dalam naungan Khilafah.
Wallahu’alam bishowab.