Bukan Radikalisme, Melainkan Darurat Radikal Pornografi pada Anak!
Oleh : Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Pusing sepuluh keliling menjadi orang tua di negeri tercinta ini. Viral di media sosial surat cinta bertulisan tangan anak usia SD. Dari awal sampai akhir surat bertabur kosa kata terkait organ vital -maaf- kemaluan. Bahkan mengajak kawannya untuk berbuat asusila. Astaghfirullah.
Di tengah masif seruan menangkal radikalisme yang tak jelas juntrungannya, dampak pornografi pada anak justru nyata semakin radikal. Belum lama berselang, seorang anak yang melakukan sodomi terhadap temannya sendiri diamankan aparat. Ironisnya, pelaku dan korban sama-sama berusia 12 tahun. Sebelumnya lagi seorang bocah digelandang ke hotel prodeo anak lantaran terbukti melakukan kekerasan seksual kepada tetangganya yang masih berumur 7 tahun. Kronologinya terungkap bahwa pelaku menendang korban hingga pingsan, lalu melakukan tindak pelecehan seksual.
Dapat dibayangkan potensi kerusakan generasi bangsa ini di masa depan. Sebabnya merujuk pendapat para ahli, pornografi dapat merusak otak anak. Tepatnya pada bagian otak depan yang disebut Pre Frontal Cortex (PFC). Hal ini disebabkan karena PFC yang ada di otak anak belum matang dengan sempurna. Maka jika bagian otak ini rusak kebanjiran hormon orang ‘dewasa’, konsentrasi jadi mudah terganggu. Hasilnya sulit memahami benar dan salah, mudah lepas kontrol, dan mudah emosi bila keinginan tidak dituruti. Pada gilirannya bukan tak mungkin tumbuh bibit psikopat yang tampak sehat secara fisik namun keropos dari sisi mental.
Baiklah, dengan kondisi separah di atas, masih ingin sibuk dengan soal radikal radikul ala moderasi beragama? Mau sampai kapan darurat pornografi ini akan dibiarkan? Ingat, anak adalah aset masa depan negeri ini. Di pundak mereka kelak estafet kepemimpinan bakal diletakkan. Rusaknya akal dan pikiran mereka sekarang bukan mustahil jadi cerminan rusaknya peradaban di era mendatang bila tak cepat diatasi.
Untuk itu perlu diingat, persoalan anak tak pernah berdiri sendiri melainkan selalu berhubungan dengan masalah keluarga, sekolah, lingkungan sekitar dan negara sebagai pengambil kebijakan. Harus diakui pergeseran fungsi dan norma yang berlaku di tengah keluarga dan masyarakat kian masif. Jika dahulu orang tua intens bahu-membahu dalam pengasuhan anak berbasis agama (baca: Islam), kini tak lagi demikian. Pengasuhan tak jarang terganti dengan, terlebih sejak kebijakan belajar daring selama pandemi. Sekolah yang digadang-gadang sebagai wadah penguatan dan pendidikan karakter juga seakan tak berdaya. Beban kurikulum yang berat serta metode pembelajaran yang berubah-ubah antara lain yang jadi penyebab. Masyarakat pun kehilangan sikap peduli serta empati, sebagai gantinya sibuk mengejar materi dalam bentuk fulus, jabatan maupun ketenaran.
Di sisi lain negara yang diharapkan sebagai perisai pelindung anak, orang tua dan khalayak kini justru getol mengusung moderasi beragama yang berpijak pada pandangan bahwa semua agama sama. Jelas hal ini kontra produktif terhadap penyelesaian problem darurat pornografi pada anak ini. Sebab memandang semua agama sama benarnya justru berisiko mengeliminasi prinsip kebenaran agama. Terhadap Islam, misalnya. Atas nama moderasi dan deradikalisasi, Islam yang dianggap benar adalah Islam yang permisif akan budaya Barat yang menjunjung tinggi kebebasan. Akibatnya setiap perbuatan tak lagi ditakar halal atau haram serta pahala dan dosanya, melainkan hanya dinilai dari apakah perbuatan itu melanggar hak orang lain atau tidak.
Jujur, pada akhirnya sengkarut kebijakan negara yang berakar pada sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan inilah biang kerok buramnya potret anak-anak di masa depan. Nilai-nilai agama yang harusnya jadi pijakan perlahan tapi pasti dipinggirkan. Tak heran jika hadirnya remaja pengidap krisis identitas, mental illness, hingga generasi hallyu dan stroberi yang rapuh, saat ini telah jadi fenomena biasa.
Padahal berkaca dari sejarah panjang peradaban ketika Islam diterapkan, keadaannya jauh berbeda dengan sekarang. Masa keemasan Islam diisi dengan generasi yang cemerlang, cerdas lagi tangguh. Tidak sedikit yang tampil sejak usia muda sebagai peletak dasar ilmu yang masih digunakan di era sekarang. Seperti ilmu aljabar, angka nol hingga angka biner yang jadi dasar digitalisasi abad ini. Sangat mungkin sejarah berulang jika saja umat muslim dan manusia pada umumnya kembali pada aturan yang digariskan Al Khaliq yang mustahil zalim pada segenap makhluk-Nya. Mengambil dan menerapkan syariat yang dibawa Baginda Nabi saw. yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Tidak hanya untuk bangsa Arab tapi untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman.
Mari simak penggalan Hadits Rasulullah saw. berikut,
“...Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada manusia semuanya.” (HR. Al Bukhari, no: 335)
Wallaahua’lam.