Isu Radikal dan Kebutuhannya
Oleh : L. Natsir
Lensa Media News – Langkah kontroversial kembali dilakukan oleh penguasa. Bukan sekali dua kali gorengan radikal digemakan. Label radikal kian tajam ditujukan pada penceramah. Dengan ini adakah yang ingin dihindari. Bukan hanya kepada TNI, Polri juga diingatkan untuk tidak mengundang penceramah radikal sebagai pengisi aktivitas beragama.
Ciri penceramah radikal pun dirilis. Kemudian kegaduhan pecah tatkala di jejaring pesan muncul daftar nama-nama penceramah radikal. Belum diusutnya daftar ini membuat rancu siapa sumbernya. Tak terelakkan, pewajahan yang buruk kepada para ustaz telah terjadi. Ini mengusik hati, pikiran, dan ketenangan umat muslim Indonesia.
Kembali, masyarakat dikotak-kotakan dalam perbedaan pendapat. Sebagian orang tidak lantas percaya pada daftar tersebut. Namun, ada juga yang terpengaruh provokasi. Bagi sebagian yang lain, bahkan ini tidak penting apalagi boro-boro perduli, dan dianggap memecah belah saja.
Beda antara Benci dengan Mengkritik
Narasi yang mengatakan sikap kritis sama dengan membenci amat berbahaya. Kritik bukan bagian dari kebencian. Kritik lahir dari kepedulian ingin membangun perubahan ke arah yang lebih baik. Kelompok dan tokoh penceramah justru kerap kali menghadirkan solusi di tengah permasalahan umat sebagai bagian penyeru kebaikan. Pihak inilah yang menolak segala bentuk kezaliman.
Provokasi agar publik mewaspadai kaum radikal terus dilakukan oleh penguasa. Maka dari itu publik pun menilai penguasa terganggu stabilitas kursinya oleh pihak yang mendapat stempel radikal. “Penceramah” dan “radikal” yang disandingkan ini nampaknya hanya perisai saja untuk mobilitas kaum bermodal. Semacam riasan demi menghalau pihak-pihak yang menganggu aliran dana.
Mudah untuk Didebat dan Dipertanyakan
Kemudian, ciri-ciri radikal yang dirilis dinilai para ahli sarat dengan kepentingan politik. Tidak hanya itu tetapi juga mudah diperdebatkan. Poin-poinnya jika dicermati jelas memilih Islam sebagai subyeknya. Mengapa pula Islam yang tertuduh tanpa sedikit pun memuat ciri-ciri pemberontak, KKB misalnya. Islam terpojokkan disini karena seolah lebih menyeramkan. Nahas, koruptor pun bahkan mungkin mendapat perlakuan lebih layak ketimbang seharusnya.
Banyak pertanyaan muncul dibenak kita. Mengapa baru dipermasalahkan sang penceramah terkait materi ceramahnya. Jika ditelusuri lagi maka kita bisa membandingkan ide-idenya dulu dan sekarang adakah perubahan signifikan yang mengarah pada usaha ekstrim. Di sisi lain, demi menjawab sejak kapan hembusan radikal. Tahun 2016-2017 dalam mesin pencarian internet kata radikal mengalami peningkatan kemunculan di internet. Meski bukan satu-satunya alasan, jejak digital ini kerap dijadikan acuan atau dengan kata lain yakni pada Pilkada 2017.
Terakhir, betapa kasihan generasi Z mereka memiliki pandangan yang terancam suram jika begini. Sebab diarusi penilaian yang salah atas kebaikan Islam. Keinginan seseorang yang baru ingin belajar Islam dipertaruhkan. Semua kalangan seharusnya berhak untuk mengindera mana pelaku yang menghasilkan kerusakan. Inilah imbas dari akomodasi penguasa kepada pemilik modal atau si kapitalis.
[hw/LM]