IKN: Menabrak Rasionalitas dan Salah Prioritas?
Oleh: Mimin Diya
Lensa Media News – Wacana pemindahan ibu kota negara (IKN) terus bergulir. Pemindahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur tersebut digadang sebagai wajah peradaban baru pusat pemerintahan Indonesia di masa mendatang. Pembangunan IKN pun telah mendapat legalitas melalui pengesahan UU IKN oleh DPR pada tanggal 18 Januari 2022. Ambisi IKN disebut-sebut sebagai perwujudan visi pemerintah pada 2045, yakni mampu melakukan sharing pembangunan dan ekonomi secara merata di berbagai wilayah Indonesia. Karena saat ini pembangunan hanya berpusat di Jawa, Bali, dan Sumatera yang sekitar 50-70 persen.
Sejumlah pihak merespon kebijakan ini dengan berbagai pendapat kontra, lantaran kesiapan yang belum matang dan kondisi masyarakat masih diliputi pandemi. Terutama berkaitan dengan biaya fantastis yang akan digelontorkan demi pembangunan IKN baru diambil dari sumber-sumber dana masyarakat.
Pada awalnya memang pemerintah telah berjanji tidak akan membebani APBN. Namun, kebijakan baru muncul terkait skema pembiayaan pembangunan IKN hingga 2024 akan dibebankan pada APBN yakni 53,3 persen. Sisanya berasal dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta, dan BUMN sebesar 46,7 persen. (Kompas, 22/01/2022)
Bahkan berita terus bergulir di tengah masyarakat berupa pemakaian anggaran klaster Penguatan Pemulihan Ekonomi (PEN) yang mencapai Rp 178,3 triliun. Padahal, sesuai Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau UU Nomor 2 Tahun 2020 Pasal 11, anggaran PEN dialokasikan untuk melindungi dan meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat selama pandemi Covid-19. Bentuk kontra juga melahirkan petisi dengan judul “Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibu Kota Negara (IKN)” di laman change.org. Petisi ini diinisiasi oleh 45 akademisi sejak 4 Februari 2022 dan telah ditandatangani oleh 21.492 orang. (Tempo, 9/2/2022). Bahkan dukungan pada petisi IKN terus mengalir deras dari sejumlah tokoh publik.
Rasa khawatir publik pun semakin meningkat terkait dana pembangunan IKN. Sebagian menganalisa akan terjadi peningkatan utang negara pada asing. Karena proyek infrastruktur sebagian besar berasal dari investasi pihak asing. Apalagi telah tercatat utang negara saat ini mencapai Rp 6.713,24 triliun atau setara 39,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB) per November 2021. (CNBC, 09/01/2022)
Sementara kondisi saat ini, rakyat masih dibayangi oleh pandemi yang belum terkendali dengan berbagai macam variasi virus yang berbeda. Peningkatan kasus yang signifikan membayangi rakyat akan kembali ke masa kesulitan ekonomi, banyak PHK hingga usaha bangkrut. Tentu kondisi ini butuh penyelesaian secara cepat dan tepat dari penguasa.
Rakyat seharusnya menjadi prioritas utama dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Bahkan pemenuhan ini memang harus menyeluruh hingga ke berbagai penjuru wilayah dalam negeri. Namun jika yang ditawarkan adalah solusi IKN dengan dalih pemerataan ekonomi, maka harus dikaji ulang. Karena realitas menunjukkan suatu yang bertolak belakang dengan kondisi negara yang minim dana seperti saat ini.
Sudah selayaknya jajaran penguasa mendengar suara rakyat, memahami kondisi sampai ke pelosok, hingga memberikan riayah terbaik bagi rakyat. Tentu semua ini butuh keberanian dari penguasa untuk memilih sistem aturan yang benar. Tanpa dilandasi sistem yang benar, nasib rakyat akan tetap sama dari masa ke masa. Karena setiap kebijakan yang dihasilkan pasti dipengaruhi oleh sistem pemerintahan negara yang dipilih.
Dan nyatanya yang sedang berjalan saat ini adalah sistem demokrasi-kapitalis yang telah menampakkan berbagai macam kerusakan di semua lini kehidupan. Sistem yang berlandaskan pada asas manfaat materi semata. Hal ini perlu menjadi evaluasi besar bagi bangsa dan negara agar di masa mendatang memilih sistem pemerintahan yang benar.
Wallahu a’lam.
[ah/LM]