Kebebasan Bukan Solusi Kekerasan pada Kaum Perempuan

Oleh : Riri Rikeu

 

Lensa Media News – Kekerasan terhadap kaum perempuan makin menguat saat ini. Di Indonesia saja, Komnas perempuan mencatat jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911. Tentu saja jika merujuk pada fakta di lapangan, bisa saja angkanya melebihi temuan Komnas Perempuan di atas.

Di era medsos saat ini, masyarakat disuguhkan berbagai berita yang terkait kekerasan pada perempuan. Isu kesehatan mental, bunuh diri, dan depresi cukup timbul kepermukaan. Namun, tetap saja angka kekerasan pada perempuan melonjak tinggi.

Disisi lain, tayangan yang menguras emosi perempuan seperti film layangan putus, film-film yang bertema poligami atau cuplikan ceramah seorang ustadzah diangkat untuk menunjukkan bahwa ada relasi yang cukup erat antara posisi perempuan dengan aspek religi. Sehingga ada anggapan bahwa selain budaya partriakis yang ada, aspek agama (khususnya Islam) menjadi penyumbang terbesar ketidakadilan gender.

Apakah Islam memang demikian? Tentu saja tidak. Pada faktanya, Islam memiliki pandangan yang khas mengenai posisi laki-laki dan perempuan. Dalam Islam laki-laki dan perempuan sama posisinya dihadapan Allah. Yang membedakan hanyalah ketaqwaan dan keimanannya. Adapun pembagian tugas yang jelas antara laki-laki dan perempuan itu adalah bagian dari syariat Islam yang harus dijalankan dengan kesadaran akan keimanan pada Allah.

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) bersabda saat haji perpisahan (wada): “Aku memerintahkanmu untuk memperlakukan wanita dengan baik.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Orang percaya yang paling lengkap dalam iman, adalah yang memiliki karakter terbaik. Dan yang terbaik dari Anda adalah mereka yang paling baik kepada wanita mereka.” (HR. At-Tirmidzi)

Jadi, Islam bukanlah ajaran yang patriakis. Adapun data-data yang menunjukkan kekerasan dan ketidakadilan oleh kaum laki-laki, itu adalah fakta yang tidak bisa dijadikan sumber berpikir.

Dalam Islam, fakta adalah objek berpikir, sehingga tidak bisa dijadikan rujukan benar atau tidaknya ajaran Islam. Islam memiliki metode berpikir dan tidak menjadikan perasaan sebagai asas berpikir seseorang. Kenapa? Karena ketika pemikiran dipandu oleh akal maka akan menemui kerusakan.

Seperti saat ini, ide kebebasan yang sering disuntikkan pada kaum wanita menjadikan ego mereka sebagai pemimpin dalam berpikir. Wanita sering digemborkan sebagai objek yang tertindas dan harus diberikan kebebasan. Ide kebebasan ini tidak hanya ada di Indonesia tapi diberbagai negara. Mendorong perempuan untuk mengaktualisasikan diri sebebas-bebasnya agar meraih posisi yang setara dengan kaum perempuan. Begitulah harapannya.

Anehnya, jika kekerasan ini menimpa pada kaum muslimah, maka suara pejuang hak perempuan pun tidak terlalu terdengar suaranya. Seperti kasus larangan hijab di perguruan tinggi di negara bagian Karnataka, India selatan. Padahal, jilbab adalah bagian integral dari keimanan sehingga seorang muslimah berhak memakai jilbab dalam aktivitasnya tanpa gangguan dari kelompok manapun. Lantas mengapa suara pembelaan terhadap kasus tersebut tidak terdengar?

Kebebasan yang ditawarkan oleh kaum pejuang hak perempuan nyatanya berasaskan sekulerisme. Kebebasan yang diusung tidak berlaku pada aspek religi. Padahal banyak kekerasan yang menimpa muslimah diberbagai belahan dunia. Jadi, apakah kebebasan adalah solusi dari kekerasan pada perempuan? Ternyata bukan. Karena justru kebebasan yang lemah landasannya membawa kerusakan. Sistem sekuler yang mendasari kebebasan malah memproduksi kekerasan pada perempuan.

Wallahu’alam.

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis