Selamatkan Guru dan Murid dari Kubangan Nista

Oleh: Shafayasmin Salsabila
MIMم_Muslimah Indramayu Menulis
LenSaMediaNews.com__Gawat, kasus mengerikan kembali terjadi. Kali ini menimpa puluhan pelajar di salah satu sekolah menengah kejuruan di Kalideres, Jakarta Barat. Mereka diduga menjadi korban pelecehan oleh seorang guru berinisial O, yang mengajar di sekolah tersebut (Kompas.com, 7-3-2025).
Masih di bulan Maret, kasus serupa terjadi di Sikka, NTT. Delapan siswi Sekolah Dasar, dicabuli oleh oknum guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK). Di tahun sebelumnya, tak sedikit kasus pencabulan di mana korbannya adalah anak laki-laki. Bahkan, guru perempuan pun ada yang menjadi pelaku kasus pelecehan murid.
Nampak semakin absurd. Ancaman keselamatan generasi datang dari berbagai penjuru, termasuk di dalam lingkungan sekolah. Orang tua pun dibuat ketar ketir, tak hanya bagi yang memiliki anak perempuan, saat ini anak lelaki pun rentan mendapat pelecehan.
Ke Mana Akal Sehat?
Siapa pun tak akan mengira, tenaga pendidik malah menjadi dalang kenistaan. Figur teladan telah hilang, berganti muka sebagai predator seksual, yang mengincar anak-anak didik. Posisi sebagai guru malah dijadikan “modal” memanipulasi, memperdaya para korban. Tentu tak ada asap kalau tak ada api.
Sejatinya para pelaku pun merupakan “korban”. Akal sehatnya ditumpulkan oleh beberapa faktor. Baik internal, maupun eksternal. Trauma masa lalu, kedangkalan iman, referensi-referensi toxic dari tontonan, medsos, buku, ataupun lingkungan yang dipenuhi dengan buncahan hawa nafsu, atau syahwat.
Semuanya menyatu, membius akal sehat, dan memengaruhi pola sikap. Dan bila ditelisik lebih dalam, faktor-faktor yang menumbuhkan mental predator ini distimulus oleh pemberlakuan aturan kehidupan sekuler. Laksana udara, siapapun bisa menghirupnya lalu menjadi “monster”.
Sebab, ciri khas dari udara sekuler ini adalah menihilkan peran Allah, sebagai asy-syari‘ (pembuat hukum) dalam keseharian. Tak ada lagi halal-haram. Pahala dan dosa tidak lagi dijadikan pertimbangan. Mirisnya, tak ada satupun sendi kehidupan saat ini, yang luput dari pengaruh sekularisme. Termasuk di dalam satuan pendidikan. Maka tak aneh jika terlahir dari sistem ini, tipikal guru predator yang menuhankan hawa nafsunya, berbuat amoral, dan tidak sensitif dengan dosa.
Kembali Fitrah
Jika sekularisme membuat manusia, apapun profesinya, menjadi berjarak dengan Tuhannya, maka Islam datang untuk mengembalikan manusia kepada fitrah. Menjadi hamba yang lekat dan dekat dengan Allah. Sebab dalam jiwa, selalu ada potensi fujur (berbuat dosa), dan takwa (taat kepada Allah). Sedang, takwa paripurna tak akan didapat tanpa sokongan penuh dari negara.
Maka dalam Islam, negara memiliki peran strategis untuk menanamkan ketakwaan, dengan edukasi seputar Islam kafah. Bahwa, Islam adalah ajaran sempurna dan paripurna. Terdapat di dalamnya aturan seputar batasan dalam pergaulan. Negara menjadi filter bagi putih dan hitamnya media. Bahkan negara tak akan ragu-ragu untuk mendisiplinkan siapa pun yang bermaksiat dengan sistem persanksian tegas.
Karakteristik islami pun akan mengkristal dalam diri setiap warganya, termasuk tenaga pendidik. Guru akan dikondisikan untuk selalu berada di relnya. Guru yang bertakwa, yang besar rasa takutnya kepada Allah. Memahami tugas dan perannya sebagai perantara generasi untuk menemukan potensi emasnya, bukan malah menjadi “monster” yang membunuh cita dan masa depan anak didiknya. Mari kita perjuangkan negara bercorak takwa seperti ini. Wallahualam bissawab. [LM/Ss]