Ambisi AS Terhadap Gaza, Bagaimana Sikap Dunia?

White Blue Red American Independence Day Instagram Post_20250310_071242_0000

Oleh : Hasna Lathifah 

(Aktivis Mahasiswa)

 

Lensa Media News – Perjanjian gencatan senjata antara Gaza dengan Zionis Israel masih berlangsung. Namun tentara Zionis masih terus melakukan serangan mematikan hingga menewaskan 2 polisi Palestina saat mereka bekerja mengamankan masuknya truk bantuan ke Jalur Gaza pada hari minggu 16 Februari lalu (cnnindonesia.com, 16-2-2025). Serangan ini menunjukkan bahwa entitas Yahudi tidak pernah bersungguh-sungguh menjalankan perjanjian gencatan senjata.

Ancaman terhadap Palestina juga datang dari Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan obsesinya mengambil alih Gaza dengan dalih untuk merekonstruksi wilayah Gaza dan membangunnya menjadi “Riviera Timur Tengah”. Trump juga ingin merelokasi warga Gaza secara permanen ke negara lain dengan alasan karena Gaza sudah tidak bisa lagi dihuni oleh warga karena tidak aman dari peperangan.

Menanggapi ambisi AS tersebut, lebih dari 150.000 orang turun ke jalan di London dalam unjuk rasa solidaritas yang kuat dengan rakyat Palestina. Mereka memprotes upaya AS dan Israel untuk menggusur paksa warga Gaza. Pawai tersebut melibatkan keluarga, aktivis, mahasiswa, dan pemimpin agama. Ini merupakan salah satu demonstrasi terbesar dalam beberapa bulan terakhir, yang mencerminkan kemarahan global yang meningkat atas agresi Israel yang sedang berlangsung dan keterlibatan Barat, khususnya Amerika Serikat.

Meskipun negara-negara Arab, termasuk Indonesia mengaku mengecam dan menolak ambisi AS tersebut, namun faktanya kecaman mereka hanyalah sekadar retorika saja. Pada hakikatnya, negara mereka masih tersandera secara politik, militer, dan ekonomi. Mesir dan Yordania, misalnya, sangat bergantung pada dukungan ekonomi AS. Menurut data Departemen Luar Negeri AS, sejak 1978 AS telah memberi Mesir lebih dari US$50 miliar untuk bantuan militer dan US$30 miliar untuk ekonomi. Yordania telah menerima lebih dari US$1 miliar tiap tahunnya selama beberapa tahun terakhir. AS bahkan menegaskan akan meningkatkan tekanan pada Yordania dan Mesir, termasuk dengan memberikan ancaman sanksi keuangan saat Trump menyatakan komitmennya untuk “membeli dan memiliki” Gaza. Adapun Arab Saudi, justru menyetujui ide Trump tentang “Rivieria Timur Tengah” di Gaza meskipun menolak pengusiran warga Gaza.

Dengan kemampuan militer, politik, dan ekonomi yang besar ini, AS mengintervensi seluruh negara yang ada di dunia, mencoba untuk mengelola politik hegemoni atas politik seluruh dunia tanpa kecuali. AS bahkan mampu menyulut krisis di wilayah-wilayah yang konflik dengan cara membuat klasifikasi-klasifikasi baru untuk berbagai negara. Seperti misalnya negara-negara poros kejahatan (evil axis) ataupun negara-negara pendukung terorisme. AS mewajibkan dunia untuk berpihak kepadanya atau kepada teroris, tidak boleh memilih tidak berpihak pada keduanya.

Demikianlah, watak kapitalisme sekuler yang serakah dan menghalalkan segala cara telah menjadi nafas dan identitas yang mendarah daging bagi AS. Alhasil, di bawah hegemoninya, dunia akan terus-menerus dibayangi teror.

Hingga saat ini, belum ada penguasa muslim yang benar-benar sadar dan berani menentang AS secara nyata. Alih-alih melakukan perlawanan, mereka lebih fokus melindungi kepentingan pribadi dan kelompoknya masing-masing. Penyakit wahn (cinta dunia dan takut akan kematian) membuat mereka cenderung mencari aman dan lebih memilih menjadi kaki tangan AS untuk menindas negeri dan rakyatnya sendiri.

Kesombongan AS hanya akan tumbang di hadapan negara adidaya baru yang memiliki kekuatan lebih besar atau minimal setara dengannya. Satu-satunya calon adidaya yang akan menjadi pesaing AS adalah negara Islam (Khilafah) yang menerapkan Islam secara kaffah. Ideologi Islam yang berasal dari Sang Pencipta adalah satu-satunya ideologi yang benar, yang mampu membawa manusia pada kehidupan yang aman dan sejahtera.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis