Retret Kepala Daerah Vs Efisiensi: Antara Kebutuhan dan Ironi


Oleh. Nur Rahmawati, S.H.
Penulis dan Pendidik di Kotim

 

 

Lensamedianews.com_ Retret kepala daerah menjadi fenomena yang menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Di satu sisi, kegiatan ini dianggap sebagai sarana penting untuk menyiapkan kepala daerah dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam koordinasi dengan pemerintah pusat serta daerah lain. Namun, di sisi lain, banyak yang mempertanyakan efektivitas retret tersebut, terutama di saat rakyat menghadapi berbagai kesulitan ekonomi dan pemerintah menerapkan kebijakan efisiensi anggaran.

 

 

Seperti dilansir laman berita Tirto.id, akan diadakannya retret selama tujuh hari di Borobudur International Golf and Country Club di kawasan Akademi Militer, Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah, oleh sebanyak 505 kepala daerah hasil Pilkada 2024. Program pembekalan tersebut dilakukan usai para gubernur, bupati, dan wali kota terpilih dilantik di Istana Negara, Jakarta, pada Kamis (19-2-2025).

 

 

Retret: Antara Manfaat dan Kemewahan

Secara teoritis, retret kepala daerah bisa menjadi sarana strategis dalam memperkuat koordinasi antarpejabat serta memperjelas arah kebijakan yang akan diambil. Dalam sistem pemerintahan yang kompleks, komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah memang sangat dibutuhkan. Namun, efektivitas retret ini patut dipertanyakan jika hanya menjadi ajang seremonial belaka tanpa output yang jelas bagi kesejahteraan rakyat.

 

 

Apalagi, saat ini ada begitu banyak persoalan yang lebih mendesak untuk ditangani kepala daerah. Misalnya, menjelang bulan Ramadan, kesiapan stok pangan menjadi isu krusial yang harus diawasi secara langsung oleh pemerintah daerah agar tidak terjadi lonjakan harga yang memberatkan masyarakat. Begitu pula dengan pengaturan arus mudik lebaran yang membutuhkan perhatian ekstra agar perjalanan masyarakat tetap aman dan lancar.

 

 

Efisiensi Anggaran dan Wajah Kapitalisme

Salah satu kritik terbesar terhadap retret adalah penggunaannya yang sering kali menghabiskan dana besar. Sementara itu, di berbagai daerah, pelayanan publik masih jauh dari optimal akibat kebijakan efisiensi anggaran. Pemangkasan anggaran sering kali berdampak pada sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa negara, alih-alih berperan sebagai pengurus rakyat, justru semakin berperan sebagai operator dan fasilitator bagi kepentingan korporasi.

 

 

Fenomena ini tidak lepas dari penerapan desentralisasi kekuasaan dalam sistem otonomi daerah yang sering kali justru memperburuk pengelolaan keuangan negara. Alih-alih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, banyak kepala daerah yang justru semakin berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Inilah wajah buruk kapitalisme dalam sistem pemerintahan. Negara seolah-olah hadir, tetapi perannya semakin lemah dalam mengurus rakyatnya.

 

 

Solusi Islam

Islam memiliki sistem pendidikan kepemimpinan yang berorientasi pada tanggung jawab dan kesejahteraan rakyat. Dalam Islam, seorang pemimpin dipersiapkan dengan akidah yang kuat, pemahaman mendalam tentang syariat, serta kesadaran akan tugasnya sebagai pelayan masyarakat.

 

 

Jika memang dibutuhkan pembekalan bagi kepala daerah, maka seharusnya kegiatan tersebut dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Fokus utama haruslah pada materi yang disampaikan, bukan pada seremonial dan fasilitas mewah yang hanya menghabiskan uang rakyat. Selain itu, pembekalan kepemimpinan seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang lebih langsung dan aplikatif, seperti melalui diskusi mendalam, kajian kebijakan, atau simulasi penyelesaian masalah nyata yang dihadapi daerah.

 

 

Dalam sistem Islam, seorang pemimpin akan didukung oleh sistem pemerintahan yang memastikan bahwa rakyat mendapatkan hak-haknya dengan baik. Negara tidak hanya berfungsi sebagai operator, tetapi benar-benar menjadi pengurus rakyat. Dengan sistem yang adil dan berbasis syariah, kesejahteraan rakyat akan menjadi prioritas utama, bukan hanya sekadar janji politik yang sering kali tidak terealisasi.

 

 

Khatimah

Retret kepala daerah sejatinya bisa menjadi sarana yang baik jika benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Namun, dalam praktiknya, kegiatan ini sering kali hanya menjadi ajang seremonial yang tidak memberikan manfaat nyata. Ironi semakin terasa ketika di tengah kebijakan efisiensi anggaran, pejabat justru menikmati fasilitas mewah sementara rakyat masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

 

 

Seharusnya, para pemimpin lebih fokus pada konsolidasi internal dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Islam telah memberikan konsep kepemimpinan yang jelas, di mana seorang pemimpin adalah pengurus rakyat yang bertanggung jawab sepenuhnya atas kesejahteraan mereka. Dengan menerapkan sistem yang adil dan berbasis pada kesejahteraan umat, barulah kepemimpinan bisa benar-benar membawa perubahan yang nyata bagi masyarakat.

Please follow and like us:

Tentang Penulis