Mental Illness di Kalangan Remaja: Sekularisme Gagal Menjaga Kesehatan Jiwa

Oleh : Nettyhera
Lensa Media News – Hari ini, gangguan mental bukan lagi hal yang langka. Data menunjukkan bahwa hampir setengah remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, dan lebih dari 22% di antaranya sudah dalam kategori berat. Lebih menyedihkan lagi, hampir setengah dari pelaku bunuh diri di negeri ini berasal dari kalangan muda. Ini bukan sekadar angka, tapi cerminan betapa rapuhnya jiwa generasi saat ini.
Namun jika kita dalami, , kenapa kondisi ini bisa terjadi?
Dunia yang Menekan, Jiwa yang Rapuh
Remaja zaman sekarang hidup di era yang penuh tekanan. Dari kecil, mereka didorong untuk berprestasi, harus punya nilai tinggi, masuk sekolah favorit, dan sukses dalam karier. Di sisi lain, media sosial menjadi tempat di mana semua orang berlomba menunjukkan kehidupan terbaiknya. Scroll TikTok atau Instagram, yang terlihat hanya orang-orang kaya, cantik, sukses, dan bahagia. Tanpa sadar, ini membuat banyak anak muda merasa gagal, minder, dan tidak cukup baik.
Belum lagi masalah ekonomi yang semakin sulit. Orang tua stres memikirkan biaya hidup, anak-anak pun ikut merasakan dampaknya. Harga kebutuhan naik, tapi pendapatan segitu-segitu saja. Tidak heran jika banyak remaja yang merasa cemas tentang masa depan.
Lalu, ke mana mereka mencari solusi? Sayangnya, sistem yang ada hari ini tidak benar-benar peduli. Pendidikan hanya fokus pada akademik, bukan membangun mental dan spiritual. Masyarakat cenderung menilai seseorang dari materi yang dimiliki, bukan dari kualitas dirinya. Agama hanya dianggap urusan pribadi, bukan bagian dari sistem yang mengatur kehidupan.
Sekularisme, Biang Kerok Kerapuhan Jiwa
Inilah hasil dari sistem sekular yang menyingkirkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, kebahagiaan diukur dari harta, popularitas, dan pencapaian duniawi. Manusia diajarkan untuk mengejar ambisi pribadi tanpa memahami tujuan hidup yang sesungguhnya. Padahal, manusia bukan hanya tubuh yang butuh makan dan harta, tapi juga jiwa yang butuh ketenangan.
Sekularisme menciptakan persaingan yang tidak sehat, membuat orang merasa hidupnya tidak cukup baik jika tidak sehebat orang lain. Sistem kapitalisme pun memperparah keadaan dengan menciptakan kesenjangan ekonomi yang makin lebar. Akibatnya? Stres, depresi, dan hilangnya makna hidup.
Islam, Solusi Kesehatan Mental yang Hakiki
Berbeda dengan sekularisme, Islam menawarkan konsep hidup yang jauh lebih menenangkan. Dalam Islam, kebahagiaan bukan sekadar tentang materi, tapi tentang ridha Allah. Seorang muslim yang memahami agamanya akan menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang dunia, tapi juga akhirat.
Islam mengajarkan bahwa setiap ujian adalah bagian dari ketetapan Allah. Masalah bukan untuk ditakuti, tapi dihadapi dengan ikhtiar dan tawakal. Jika seorang muslim mengalami kesulitan, ia tahu ke mana harus mencari ketenangan: bukan di media sosial atau hiburan sementara, tapi di dalam salat, doa, dan membaca Al-Qur’an.
Selain itu, Islam juga membangun masyarakat yang sehat secara sosial. Dalam sistem Islam, ekonomi diatur agar semua orang bisa hidup layak, tidak ada ketimpangan yang menyebabkan stres berlebih. Lingkungan sosial pun dibangun atas dasar kasih sayang, bukan persaingan yang tidak sehat.
Saatnya Kembali ke Islam
Jika kita ingin menyelamatkan generasi dari kehancuran mental, solusinya bukan sekadar memperbanyak seminar kesehatan mental atau terapi psikologi. Itu mungkin membantu, tapi tidak menyentuh akar masalah. Yang kita butuhkan adalah perubahan sistem—dari sekularisme yang kering dan menekan, kembali ke Islam yang menenangkan dan menyejahterakan.
Karena sejatinya, hati manusia hanya akan benar-benar tenang jika dekat dengan Allah. “Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
[LM/nr]