Minyak Tak Sesuai Takaran, Rakyat Jadi Korban

Oleh: Anggun Wijayanti
Muslimah Pemalang
LenSaMediaNews.Com, Opini–Baru-baru ini Satgas Pangan Polri menyelidiki temuan adanya minyak goreng kemasan bermerek MinyaKita yang dijual di pasaran tidak sesuai dengan takaran yang disebutkan oleh produsen pada label kemasan.
Sebelumnya, Sabtu, 8 Maret 2025, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman melakukan inspeksi mendadak ke Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan, untuk memeriksa kabar soal MinyaKita yang tidak sesuai dengan takaran.
Dalam inspeksi tersebut, ditemukan minyak goreng kemasan dengan merek MinyaKita yang tidak sesuai dengan aturan dan di atas harga eceran tertinggi (HET). Minyak tersebut diproduksi oleh PT Artha Eka Global Asia, Koperasi Produsen UMKM Kelompok Terpadu Nusantara, dan PT Tunas Agro Indolestari.
Ketika dilakukan pengukuran terhadap tiga merek MinyaKita yang diproduksi oleh tiga produsen yang berbeda, ditemukan ukurannya tidak sesuai dengan yang tercantum di dalam label kemasan. Hasil pengukuran sementara, dalam label tercantum 1 liter, tetapi ternyata hanya berisikan 700—900 (kompas.com, 10-03-2025).
Sungguh benar adanya bahwa manusia bisa menghalalkan berbagai cara untuk bisa mendapat keuntungan. MinyaKita ini contohnya. Pada saat harga minyak melonjak naik, MinyaKita hadir sebagai minyak bersubsidi yang diberikan pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET) yang tidak melebihi Rp 14.000 per liter.
Rakyat dengan penghasilan menengah kebawah merasa sangat terbantu dengan adanya minyak bersubsidi ini. Bahkan pasar-pasar murah yang diselenggarakan pemerintah melalui dinas-dinas setempat juga memilih MinyaKita dalam paket sembakonya.
Sejak dikeluarkan pada tahun 2023 sampai dengan sekarang, barulah terkuak bahwa isi dari MinyaKita tidak sesuai dengan label pada kemasan. Lagi-lagi rakyat menjadi korban.
Sumber berita lain menyebutkan bahwa ada beberapa oknum juga mengoplos MinyakKita dengan minyak bekas (jelantah). Ini jelas merugikan dan sangat membahayakan kesehatan para konsumen.
Adanya MinyaKita oplosan hingga takaran yang tidak sesuai dijual di pasaran menunjukkan gagalnya negara mengatasi kecurangan para korporat yang berorientasi untung. Ini membuktikan bahwa distribusi kebutuhan pangan ada di tangan korporasi.
Sedangkan, negara hanya hadir untuk menjamin bisnis yang kondusif bagi para kapital. Bahkan tidak ada sanksi menjerakan jika mendapati perusahaan melakukan kecurangan.
Di bawah penerapan sistem ekonomi Kapitalisme dengan asas liebralismenya, para korporat mendapat karpet merah untuk menguasai rantai distribusi pangan (hulu hingga hilir).
Negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Paradigma Kapitalis menjadikan negara abai terhadap tanggung jawabnya sebagai pengurus dan pelayan umat.
Islam menetapkan pengaturan hajat hidup rakyat berada di bawah kendali pemerintah. Sebab pemimpin adalah raa’in atau pengurus umat. Paradigma dalam mengurus rakyat adalah pelayanan, bukan bisnis atau keuntungan.
Pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan) menjadi tanggung jawab negara dengan berbagai mekanisme sesuai syariat. Tidak boleh diserahkan kepada korporasi, hulu hingga hilir. Selain menjaga pasokan produk pangan seperti MinyaKita, negara wajib mengawasi rantai distribusi dan menghilangkan segala penyebab distorsi pasar.
Dalam Daulah Islam, Qadhi hisbah bertugas untuk melakukan inspeksi pasar. Jika ditemui ada kecurangan seperti kasus MinyaKita oplosan, Negara akan memberikan sanksi tegas, bahkan pelaku bisa dilarang melakukan usaha produksi hingga perdagangan.
Seorang pemimpin dalam Daulah Islam sangat memahami bahwa Allah kelak akan meminta pertanggungjawaban atas semua rakyat yang dipimpinnya. Tak terkecuali bagaimana pengurusan pemimpin (Khalifah) dalam masalah pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya. Sehingga kasus-kasus semacam ini jarang terjadi, dan jikalau terjadi negara akan bertindak tegas kepada para pelaku yang terlibat dengan memberikan sanksi yang berat. Wallahu’alam bishowab. [LM/ry].