#KaburAjaDulu : Bukti Negara Abai

Oleh : Cokorda Dewi
LenSa MediaNews.Com, Opini–Maraknya tagar #KaburAjaDulu di berbagai media sosial, dan menjadi trending topic dalam platform X (twitter). Seruan untuk pindah ke luar negeri, baik itu untuk belajar ataupun bekerja, dan juga menetap di luar negeri.
Informasi tentang bagaimana mendapatkan beasiswa pendidikan di luar negeri, bagaimana peluang kerja dan jumlah pendapatan di luar negeri, serta bagaimana cara mendapatkan visa permanent residence di negara yang dituju pun tersedia di media sosial. Bahkan ada webinar tentang cara bekerja dan menetap di luar negeri. Promosi tentang banyak hal yang menjaminkan kelayakan hidup di luar negeri juga bisa kita akses di media sosial.
Fenomena belajar dan bekerja di luar negeri, sebenarnya bukan hal yang baru. Karena hal ini sudah terjadi sejak zaman dahulu, bahkan sejak zaman penjajahan. Namun pada saat ini, kondisi ini tidak terlepas dari Fenomena Brain Drain yang menjadi isu krusial dalam konteks globalisasi/liberalisasi ekonomi yang semakin menguat.
Ada hal positif dan negatif dalam fenomena ini. Hal positif adalah bahwa ada keinginan untuk meningkatkan diri melalui belajar atau bekerja di luar negeri, baik itu keinginan untuk mendapatkan ilmu, pengalaman hidup di luar negeri yang tentunya berbeda bahasa dan budayanya, maupun mendapatkan penghasilan yang lebih untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Sisi negatifnya jika mengambil kesempatan belajar atapun bekerja di luar negeri, karena kekecewaan, kecewa pada keluarga, keadaan, atau dengan pemerintah. Hal inilah yang perlu dicermati dan diluruskan. Karena sesuatu hal negatif, tentulah tidak baik bagi siapapun, baik bagi diri sendiri, lingkungan, maupun negara.
Contohnya; kecewa pada keluarga, yang bisa jadi tidak mendapatkan kasih sayang ataupun materi yang sesuai dengan harapannya. Kecewa pada keadaan, yang bisa jadi keadaan yang tidak bisa merubah kondisi kehidupan sosial dari segi materi sesuai dengan harapannya.
Kecewa pada pemerintah, yang abai pada kesejahteraan rakyatnya, tidak memberikan fasilitas pendidikan yang murah terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, juga kualitas pendidikan yang seharusnya bisa lebih baik dari negara lainnya, serta kurang adanya kesempatan mendapatkan pekerjaan, kurangnya lapangan pekerjaan dan hasil pendapatan/upah yang sangat rendah dibandingkan dengan negara lainnya, padahal harga-harga kebutuhan, baik pokok maupun sekunder yang semakin meroket.
Perbedaan antara pendapatan/upah dengan harga kebutuhan hidup yang makin meroket membuat keresahan di berbagai lapisan masyarakat. Sehingga ketika ada tawaran kehidupan yang lebih baik di negara lain, tentulah menjadi daya tarik yang luar biasa bagi para pemuda/pemudi khususnya.
Negara-negara yang menawarkan Impian hidup menjanjikan, kebanyakan negara-negara yang krisis akan SDM, sehingga memanfaatkan kondisi ini sebagai peluang untuk mendapatkan SDM yang berkualitas dan bisa memajukan negera mereka.
Lalu bagaimana dengan negara kita? Negara yang berlimpah SDA dan juga SDM berkualitas. Seharusnya negara bisa mensejahterakan rakyatnya, dan tidak membuat rakyatnya memiliki pikiran untuk pindah menetap di luar negeri. Semestinya mereka setelah menimpa ilmu dan pengalaman hidup di luar negeri, bisa Kembali ke negeranya untuk terus membangun dan bergerak mensejahterakan kehidupan rakyat di negerinya sendiri.
Jika negara tetap abai dengan hal ini, maka kedepannya negara akan semakin krisis SDM yang berkualitas, memberikan peluang bagi negara lain untuk mengambil alih dan mengeksplor seluruh SDA yang ada untuk kesejahteraan kelompok mereka sendiri.
Akan mengakibatkan semakin lebar kesenjangan sosial antara negara berkembang dan negara maju, menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap sumber daya dan kesempatan. Hal ini menggambarkan kegagalan negara dalam kebijakan politik ekonomi dalam negeri tentang memberikan kesejahteraan hidup.
Apa yang salah dari hal ini? Akar masalahnya adalah penerapan sistem kapitalisme, sebagai asas di negeri ini, yang hanya menguntungkan bagi sebagian orang saja, yaitu para pemilik modal. Sehingga penguasaan SDA bisa dimiliki oleh perorangan atau pemilik modal, sementara untuk mendapatkan keuntungan yang banyak, cukup dengan membayar tenaga yang murah saja.
Sungguh rusak sistem ini bagi kehidupan manusia, sistem yang dibuat oleh manusia, tentulah hanya akan lebih menguntungkan bagi kelompok yang membuat peraturan saja. Disinilah urgensitas sisi negatif dari sisi negara, yaitu kita berjuang mengadakan perubahan.
Sudah saatnya umat muslim kembali pada Islam. Islam mewajibkan negara membangun kesejahteraan rakyat, dan mewajibkan negara memenuhi kebutuhan asasi setiap warga negara individu per individu. Tegaknya khilafah akan menjadi Rahmat bagi seluruh alam, dan mewujudkan dunia yang adil dan Sejahtera. [LM/ry].