Rakyat, Hadiah Bansos, Dipalak Kenaikan Pajak
Oleh: Rizky Damayanti, S.T.
Aktivis Dakwah siyasih & Praktisi Pendidikan
LenSa Media News.com, Hadiah dari pemerintahan baru yakni kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mencapai 12 persen. Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menegaskan bahwa kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen tetap memperhatikan pelindungan bagi pekerja atau buruh, khususnya mereka yang bekerja di sektor padat karya dan yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK), (merdeka.com, 21-12-20024).
Pemerintah juga mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. s?Salah satunya pemerintah memberikan diskon listrik sebesar 50 persen selama 2 bulan untuk kelompok menengah ke bawah dengan daya 450-2.200 VA, (cnbcindonesia.com,16-12-2024).
Selain itu, pemerintah tengah mematangkan data dan skema penerima bantuan sosial (bansos), terutama bagi kelas menengah yang terdampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, (katadata.co.id,2/12/2024).
Dengan langkah-langkah ini, pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara pengumpulan penerimaan negara dan pelindungan sosial, sehingga dampak kebijakan ekonomi dapat dirasakan secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat.
Mengapa Negara butuh menarik pajak?
Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan sekuler kapitalis, pajak dan hutang menjadi sumber utama kas negara. Bahkan penerapan pajak sudah diatur dalam perundang-undangan negeri ini. Sehingga jika pendapatan negara tidak mencukupi maka kenaikkan pajak yang menjadi solusi.
Dari kebijakan ini seharusnya rakyat sadar betapa tersiksanya hidup dalam belenggu sistem kufur sekuler kapitalis. Dalam sistem ini rakyat dipaksa memenuhi kebutuhan negara dengan imbalan bansos yang tak seberapa.
Rakyat dijadikan sasaran empuk menjadi tulang punggung negara, untuk memenuhi kekosongan kas negara. Hal ini juga menandakan bahwasannya negara tidak dapat mandiri efek dari sistem yang dianut sekuler kapitalis.
Ketidak mandiri negara dalam mengelola berbagai kekayaan sumber daya alam (SDA) negeri ini juga menjadi wujud nyata kegagalan sistem yang diterapkan. Padahal seharusnya bansos bisa diambil dari hasil sumber daya alam yang ada di negeri ini.
Dan jika seluruh SDA dikelolah secara mandiri niscaya rakyat akan sejahtera. Namun sayangnya negara menyerahkan pengelolaan pada pihak-pihak swasta. Negara juga meliberalisasikan hasil kekayaan alam pada para kapital. Sehingga negara tidak memiliki dana yang cukup untuk mengurus kebutuhan rakyatnya.
Hal semacam ini wajar terjadi dalam sistem yang memisahkan agama dalam aktivitasnya. Terlebih dalam sistem demokrasi yang dianut manusia diberi kedaulatan penuh dalam mengatur kehidupan.
Manusia bisa membuat hukum, menghapus maupun merevisi hukum yang telah dibuatnya. Itu artinya jika penguasa mau maka ia dapat menghapus dan meniadakan pajak. Karena pajak sangat mencekik kehidupan rakyat.
Namun hal ini mustahil terjadi dalam sistem demokrasi yang senantiasa menjaga sistem kapitalisme. Sungguh keberadaan sistem zalim Kapitalisme Demokrasi hanya membuat sengsara kehidupan rakyat karena gagal mengelola keuangan negara.
Bagaimana solusi dalam sistem Islam?
Tentu hal ini sangat berbanding terbalik ketika sistem Islam yang diterapkan dalam mengelola negara. Dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah negara akan sangat mandiri pada setiap pengelolaan SDA yang ada. Sehingga daulah dapat memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya.
Tata kelola keuangan yang terstruktur dan jelas menunjukkan bahwa sistem negara Islam mampu menjalankan perannya sebagai ra’ain (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Dengan kemandirian pengurusan SDA maka negara Islam tidak memungut pajak kepada rakyatnya.
Konsep pajak dalam Islam juga berbeda jauh dengan sistem Kapitalisme. Dalam kitab Nidhzamul Iqthisadiy karya Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dijelaskan bahwa pajak dalam Islam disebut dengan dharibah. Dharibah tidak dijadikan sumber pendapatan tetap dan utama bagi negara.
Melainkan dharibah dipungut pada saat negara mengalami kekosongan kas dalam Baitulmall. Sementara negara memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan jihad, infrastruktur, daerah yang terdampak bencana ataupun paceklik dan kemaslahatan umat yang lainnya. Jika hal ini tidak segera dipenuhi maka dapat menimbulkan dharar (bahaya) yang lebih besar.
Sistem pemungutan dharibah juga tidak sama dengan kapitalis yang semua rakyat wajib pajak. Namun dharibah hanya dipungut pada warga yang kaya (aghniya) atau memiliki harta berlebih. Tolak ukur kelebihan harta dalam sistem islam yakni jika seseorang itu telah terpenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier bagi keluarganya.
Sedangkan untuk warga kafir dzimi ( kafir yang tunduk kepada Islam) dan yang tidak mampu, maka tidak dipungut dharibah atasnya. Negara juga akan berhenti memungut dharibah apabila kebutuhan tercukupi dan kas negara telah terisi kembali. Ini hanya bisa terwujud dengan adanya penerapan syariah secara kafah dalam sebuah institusi Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahualam bissawab. [ LM/ry].