Betulkah Bansos dan Diskon Listrik Membawa Keberkahan?

20250103_091033

Oleh : Ummu Rifazi, M.Si

 

LenSa Media News.com, Meski mendapatkan reaksi penolakan rakyat dari berbagai kalangan, pemerintah tak bergeming dan tetap akan melaksanakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per Januari 2025.

 

Sebagai bantalan agar kelas menengah yang terdampak kenaikan PPN tersebut tidak terjun ke jurang kemiskinan, pemerintah mematangkan data dan skema penerima bantuan sosial (bansos) (katadata.co.id, 02-12-2024).

 

Pemerintah pun berencana memberikan potongan listrik sebesar 50 persen selama 2 bulan kepada 97 persen masyarakat Indonesia yang memasang daya 450 volt ampere (VA) hingga 2.200 VA. Direktur Utama (Dirut) PLN Darmawan Prasodjo mengklaim bahwa kebijakan tersebut akan membawa keberkahan karena mengurangi beban dan meningkatkan daya beli rakyat Indonesia yang terdampak kenaikan PPN 12 persen (viva.co.id, 16-12-2024).

 

Bansos dan Diskon Listrik, Keringanan Semu yang Mengelabui

 

Pernyataan Dirut PLN bahwa bantuan tersebut membawa keberkahan sangatlah tidak tepat. Sejatinya bansos dan diskon biaya Listrik untuk rakyat sebagai kompensasi PPN 12 persen tidak akan meringankan beban rakyat.

 

Diskon listrik hanya diberlakukan selama 2 bulan pertama saja, waktu yang teramat singkat. Begitu pun dengan bansos yang dapat dipastikan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat sesaat saja.

 

Setelah waktu pemberlakuannya berakhir, maka semua kondisi akan kembali kepada tatanan semula, yaitu rakyat menanggung beban ekonomi teramat sangat berat akibat PPN 12 persen.

 

Kebijakan tersebut khas penguasa populis otoriter. Mereka berpenampilan sederhana, dekat kepada rakyat melalui blusukan dan royal memberikan bansos, seolah tampak hebat dan sangat baik di hadapan rakyatnya.

 

Padahal semua bantuan yang digelontorkan tersebut berasal dari hutang luar negeri yang harus dikembalikan oleh rakyatnya dengan membayar pajak kepada pemerintah.

 

Sementara di sisi lain, penguasa bertindak represif alias otoriter terhadap kelompok masyarakat yang kritis terhadap kebijakan menyimpang yang ditetapkan penguasa. Penguasa otoriter menggunakan hukum sebagai alat pembenaran dari ambisi kekuasaannya.

 

Mereka dengan leluasa membuat hukum yang bisa menjerat kelompok masyarakat yang berupaya tulus meluruskan penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa.

 

Gaya kepemimpinan populis otoriter seperti ini bisa terjadi karena penguasa berada di bawah kontrol oligarki. Inilah yang disebut sebagai korporatokrasi yaitu gabungan antara korporasi dan birokrasi yang lahir dari sistem kehidupan sekular yang sangat jauh dari tuntunan wahyu Ilahi.

 

Tidaklah mengherankan jika kebijakan yang ditetapkan tidak akan pernah mewujudkan keadilan, kesejahteraan apalagi keberkahanbagi rakyat. Bahkan sejatinya kebijakan tersebut merupakan pengelabuan dan kezaliman luar biasa terhadap rakyat karena dilakukan secara sadar, terstruktur dan sistematis.

 

Kepemimpinan Islam Mewujudkan Keadilan dan Keberkahan 

 

Manusia memiliki sifat dasar serakah. Keserakahannya membuat manusia tak segan berbuat zalim, sebagaimana firman Allah dalam QS Al Alaq ayat 6-7, yang  artinya,” Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup”.

 

Karena kedua sifat dasar serakah dan mudah berbuat zalim, maka manusia berpotensi membuat kerusakan di bumi Allah ini. Oleh karenanya manusia tidak boleh membuat aturan sendiri bagi dirinya. Allah Yang Maha Kuasa sudah menyiapkan aturan lengkap dalam ajaran Islam untuk segala aspek kehidupan.

 

Penerapannya harus dilakukan secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan dalam institusi negara, sehingga membawa keadilan dan rahmat keberkahan bagi seluruh rakyat.

 

Negara yang menerapkan Sistem Islam secara kafah yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah, memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya yaitu sandang, pangan, dan papan secara layak dan wajar kepada warga muslim maupun non-muslim.

 

Pemenuhan kebutuhan pokok merupakan jaminan dari negara untuk rakyatnya, dan bukan dalam bentuk bansos. Kewajiban tersebut bisa dilakukan karena tidak menjadikan pajak dan utang sebagai sumber utama pemasukan negara.

 

Daulah Khilafah Islamiyyah mempunyai sumber yang jauh lebih besar yaitu pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang dikelola dengan amanah dan keuntungan dari SDA tersebut dikelola dalam kas negara (Baitulmaal).

 

Ketika harta dalam Baitulmaal tidak mencukupi, negara bisa menarik pajak (dharibah) dari kaum muslimin yang kaya saja untuk mencukupi keperluan belanja negara. Ketika Baitulmaal sudah terisi, maka dharibah harus dihentikan. Dorongan untuk membayarkan dharibah pun bukan karena paksaan berdasarkan undang-undang yang ditetapkan sepihak oleh negara.

 

Kaum muslimin yang kaya dimotivasi untuk membayarkan dharibah sebagai sedekah dari kelebihan hartanya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, “Sedekah yang paling baik adalah yang berasal dari orang kaya“. Wallahu alam bisshowwab. [ LM/ry ].

Please follow and like us:

Tentang Penulis