Bersuara Lewat Petisi, Negara tak Memberikan Solusi
Oleh: Nurhikmah
Tim Pena Ideologis Maros
LenSa Media News _ Opini_ Menjelang tahun baru 2025, rakyat dibuat gaduh oleh rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Berbagai suara rakyat terus menentang baik dalam bentuk aksi nyata maupun lewat aksi sosial media. Bahkan baru-baru ini sebanyak 113.000 masyarakat telah menandatangani petisi penolakan kenaikan PPN 12% dan sudah diterima oleh Sekretariat Negara (Setneg) pada aksi damai di depan Istana Negara. Namun, Risyad Azhary selaku inisiator petisi tersebut mengungkapkan, respons yang diterima Setneg terkesan sebatas administratif.
Ditengah kegaduhan ini Pemerintah malah bersikeras tetap memberlakukan rencana kenaikan PPN. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu beranggapan bahwa dia dapat memastikan dampak kebijakan PPN 12% tersebut terhadap inflasi dan ekonomi akan sangat minimal. Disamping itu, salah satu alasan Presiden Prabowo Subianto menaikkan PPN adalah untuk menopang program andalannya yakni makan bergizi gratis di sekolah-sekolah. Dimana program ini, membutuhkan pendanaan yang sangat besar hingga mencapai Rp 71 triliun dalam APBN 2025.
Berbagai pembenaran dari Pemerintah ini, tetap saja akan semakin memberatkan beban rakyat. Dengan naiknya PPN, secara tidak langsung segala kebutuhan pokok rakyat pasti akan ikut naik. Meski pemerintah memberikan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN, bahkan meski ada program bansos dan subsidi PLN, tetap saja penderitaan rakyat akan semakin tak terelakkan. Belum lagi, lapangan pekerjaan yang semakin sulit, nilai mata uang semakin rendah, dan kemiskinan sudah menjadi penyakit akut yang sampai saat ini belum mampu terselesaikan.
Betulkah PPN 12% Demi Kesejahteraan Rakyat?
Kenaikan pajak sejatinya bukanlah demi kebaikan rakyat. Bak pil pahit, kebijakan ini hanyalah bagian dari konsekuensi logis yang harus ditelan mentah-mentah akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalis. Sistem ini telah melahirkan penguasa yang populis otoriter, yakni pemerintah yang semena-mena terhadap rakyatnya yang hanya mengejar ketenaran dan nama baik semata.
Dengan iming-iming pemberian bansos, subsidi listrik, pembebasan pajak penghasilan selama satu tahun untuk buruh di sektor tekstil, pakaian, alas kaki, dan furnitur, serta pembebasan PPN untuk pembelian rumah tertentu. Pemerintah berharap hal ini sudah cukup untuk menyeimbangkan dampak dari kenaikan PPN 12%. Padahal kebijakan tersebut tetap akan membawa kesengsaraan pada rakyat dan berbagai bantuan tambahan itu tidak akan cukup untuk menjadi solusi.
Bahkan meski rakyat telah bersuara keras sekalipun, penguasa tetap saja abai. Sebab memang asas sistem sekuler-kapitalis hanya berorientasi pada nilai untung rugi. Kebijakan dibuat sekehendak para penguasa hanya demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Saatnya Kembali pada Sistem Islam!
Dalam Islam pemimpin memiliki peran sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Bahwa: “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh dll.)
Dan hadis Rasulullah SAW. yang menyebukan: “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari). Artinya, seorang pemimpin adalah orang yang berkewajiban untuk mengayomi, mengawal, dan mendampingi gembalaannya, yakni rakyatnya. Tatkala gembalaannya membutuhkan sesuatu pengembala akan siap untuk mengurusi kebutuhannya. Begitulah harusnya sikap pemimpin terhadap rakyatnya.
Jika dalam sistem sekuler-kapitalis sumber pemasukan negara terbesar berasal dari pajak. Dalam sistem Islam justru memiliki sistem perekonomian yang komprehensif tanpa harus membebani rakyat. Salah satunya adalah memanfaatkan kekayaan dalam negeri, yang merupakan kepemilikan umum milik rakyat dengan maksimal dan mandiri. Semua orang tentu tahu, Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alamnya, mulai dari minyak bumi, gas alam, nikel, batubara, emas, tembaga, termasuk sumber daya hayatinya seperti perikanan dan kehutanan. Namun, pengelolaan semua sumber daya alam ini justru diserahkan kepada asing. Alhasil rakyat bagaikan tikus yang mati di tengah lumbung padi, miskin ditengah kekayaan alam yang begitu berlimpah.
Penguasa dalam sistem Islam juga memahami betul bahwa jabatan yang didudukinya merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT. Sehingga, mereka tidak akan mengabaikan setiap suara rakyat meski itu adalah sebuah kritikan. Sebab, suara rakyat adalah muhasabah bagi diri seorang pemimpin.
Wallahu’alam Bisshawab
(LM/SN)