Kebijakan Pajak Zalim, di Sistem Lalim

Brown Bold Background Instagram Post_20250102_184709_0000

Oleh: Zhiya Kelana, S.Kom

(Aktivis Muslimah Aceh)

LenSa Media News _ Opini _ Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Beberapa barang yang akan dikenakan PPN 12 persen antara lain beras premium, daging premium, buah premium, jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan premium, dan pelanggan listrik dengan daya 3500-6600 VA. Ada 145. 362 orang yang sudah menandatangi petisi dan ada yang melakukan Aksi penyerahan petisi di istana Kepresidenan oleh sekelompok orang yang berasal dari mahasiswa, pencinta anime Jepang (wibu) hingga penggemar Kpop atau budaya Korea (K-popers) (Tempo, 20-12-2024).

 

Sejumlah dalih diungkapkan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen. Pertama, untuk meningkatkan pendapatan negara. Kedua, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Ketiga, untuk menyesuaikan dengan standar internasional (Tirto.id, 21-12-2024).

 

Tambahan pendapatan yang bisa didapat tidak lebih dari Rp 100 triliun. Sementara pemerintah sebenarnya bisa memperoleh penerimaan yang jauh lebih besar ketika menerapkan pajak eskpor batu bara. Yang diperkirakan penerimaan negara dari pajak eskpor batu bara bisa mencapai 200 Triliun (CNBCindonesia.com, 20-08-2024).

 

Kebijakan pajak atas rakyat dalam berbagai barang dan jasa merupakan kebijakan yang lahir dari sistem kapitalisme. Oleh karena itu, penarikan pajak dengan segala konsekuensinya adalah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Seolah menjadikan masyarakat sapi perahnya seperti jaman penjajahan, ini membuktikan bahwa kita belum merdeka.

 

Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber dana Pembangunan. Diterapkan kepada siapa saja karena merupakan kewajiban rakyat. meskipun begitu kapitalisme sering tidak berlaku adil kepada rakyat. Hal ini terkait dengan peran negara dalam kapitalisme. Negara berperan sebagai regulator dan fasilitator sering berpihak kepada para pengusaha dan abai kepada rakyat. Pengusaha mendapat kebijakan keringanan pajak, sementara rakyat dibebani berbagai pajak yang makin memberatkan hidup rakyat. Kewajiban pajak menyengsarakan rakyat.

Lalu adakah solusinya selain sistem saat ini?

 

Tentu saja ada, yaitu Sistem ekonomi Islam menetapkan negara sebagai raa’in yang mengurus rakyat, memenuhi kebutuhannya dan mensejahterakan, membuat kebijakan yang membuat rakyat hidup tenteram. Telah meriwayatkan hadits dari jalur Abu Hurairah ra, bahwa Nabi shalla-lahu ‘alaihi wa Sallam, bersabda:

 

Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya” [Hr. Bukhari dan Muslim].

 

Sistem ekonomi Islam menetapkan aturan kepemilikan dan menjadikan sumber kekayaan alam sebagai milik umum yang wajib dikelola negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan berbagai mekanisme yang diatur syara’. SDA ini adalah salah satu sumber pemasukan negara.

 

Negara memiliki berbagai sumber pemasukan yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu. Pajak merupakan alternatif terakhir dipungut oleh negara dalam kondisi kas negara kosong dan ada kewajiban negara yang harus ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, dan hanya dipungut pada rakyat yang mampu ataupun kaya. Islam menentukan kondisi kapan negara boleh memungut pajak.

Wallahu’alam

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis