Kenaikan UMP, dalam Perspektif Ekonomi Islam
Oleh : Adrina Nadhirah
(Mahasiswi STEI Hamfara)
Lensa Media News – Dikutip dari kompas.com Jum’at, (29/11/2024), Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan kenaikan upah minimum provinsi (ump) sebanyak 6.5% pada 1 Januari 2025. Besaran persentase ini dikatakan lebih besar dari usulan kenaikan ump dari menteri ketenagakerjaan ia itu sebanyak 6%. Keputusan ini diambil setelah mengadakan pertemuan dengan pimpinan-pimpinan buruh dan mengambil berat beberapa pertimbangan. Dan dalam penentuan upah minimum setiap tahun yang diatur UU Cipta Kerja, upah minimum ditentukan melalui rumusan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Kenaikan ump ini bertujuan meningkatkan daya beli masyarakat, yang kemudian menambahkan tingkat konsumsi rumah tangga yang dikira sektor paling besar yang berkontribusi kepada tingkat PDB negara. Tidak hanya itu, banyak juga buruh yang merespon bahwa kebijakan ini sedikit banyak dilihat dapat meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja apalagi semakin kesini, biaya hidup semakin mahal.
Di sisi lain, jika dilihat dari sudut tantangannya terhadap perekonomian, peningkatan ump ini berdampak kepada terjadinya inflasi. Hal ini karena, peningkatan upah pasti berjalan seiring peningkatan kenaikan harga barang dan jasa. Ditambah lagi dengan kebijakan kenaikan tarif ppn 12% pada 2025. Dapat disimpulkan juga bahwa kenaikan ump tidaklah sepenuhnya dinikmati karena kondisinya yang sama sahaja. Pendapatan bertambah, begitu juga dengan pengeluaran. Selain itu, sistem kapitalisme yang mencorakkan pengusaha-pengusaha yang berorientasikan profit maksimal, melihat peningkatan ump ini sebagai sebuah beban karena bisa menurunkan profitabilitas, sehingga cenderung mungkin melakukan PHK atau pengurangan jam kerja. Walaupun ada yang mengatakan upah bukanlah faktor utama terjadi PHK tetapi tetap ada kemungkinan hal itu bisa terjadi. Jadi persoalannya, adakah kebijakan ini selaras dengan perspektif ekonomi Islam dalam konteks kesejahteraan sosial dan keadilan distribusi.
Persoalan upah dalam sistem kapitalisme akan sentiasa menjadi polemik yang tidak berkesudahan. Baik para buruh dan pengusaha pasti akan terjadi ketidakpuasan karena sistem yang membentuk lingkaran setan ini. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya, penetapan dasar upah dalam sistem kapitalisme sudah salah yaitu berdasarkan kebutuhan hidup paling minimum bagi seorang buruh atau biasa disebut KHL (Komponen Hidup Layak).
Dengan penetapan seperti ini, upah buruh tidak akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan hidup. Meski mendapat upah tinggi, itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Di wilayah yang taraf hidupnya tinggi, upah tinggi belum menjamin kesejahteraan hidup. Boleh jadi pendapatan tinggi, tetapi pengeluaran juga tinggi karena harga barang dan jasa lebih mahal dibandingkan wilayah yang taraf hidupnya rendah. Inilah yang menjadi problem mendasar.
Sementara itu, akad pengupahan (ijaroh) dalam sistem Islam ditentukan berdasarkan besaran manfaat atau jasa yang diberikan oleh buruh tersebut. Merujuk kitab An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam (Sistem Ekonomi Islam) yang ditulis Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, penetapan besaran upah kerja, jenis pekerjaan, dan waktu kerja merupakan akad yang dilakukan berdasarkan keridaan kedua belah pihak. Tidak boleh ada yang merasa dipaksa dan dirugikan. Dan setiap detail harus jelas sebelum berlakunya akad agar transaksi ijaroh menjadi jelas dan tidak kabur.
“Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.”(HR Ad-Daruquthni) (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam hlm. 178)
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
wallahualambisshowab
[LM/nr]