Standar Hidup Layak dalam Islam
Oleh: Azrina Fauziah S.Pt
(Aktivis Dakwah)
Lensa Media News – Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis terkait standar hidup layak 2024. Dikutip dari Kompas.com, standar hidup layak di Indonesia sebesar Rp12,34 juta per tahun atau Rp1,02 juta per bulan. Standar layak hidup ini merupakan hasil dari representasi pengeluaran riil per kapita. BPS mengklaim bahwa nilai standar kelayakan hidup pada tahun 2024 justru mengalami kenaikan terbesar yakni 3,71 persen. Sedangkan pada lima tahun terakhir, pertumbuhan tahunan pengeluaran riil rata-rata mencapai 2,91 persen (18/11/2024).
Sayangnya, rilis standar hidup layak (SHL) ini tidak disambut baik oleh buruh. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) Mirah Sumirat mengkritik penggunaan istilah standar dalam rilis data BPS. Mirah menyatakan bahwa penggunaan kalimat standar hidup layak masih rancu. Menurutnya, judul survei seharusnya menggunakan kalimat ‘rata-rata pengeluaran’ sebab penentuannya mengacu dari hasil pengeluaran per bulan. Pengambilan data survei juga harus jelas, diambil dari data keluarga atau lajang tentu berbeda. Ia menilai penetapan standar hidup layak versi BPS sangat kecil dan jauh dari kata layak.
Ristandi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) juga mempertanyakan poin-poin apa yang digunakan BPS sehingga menghasilkan angka Rp1,02 juta per bulan sebagai standar hidup layak. Ia mengungkapkan bahwa pengeluaran Rp1 juta tidak mewakili hidup layak bagi pekerja (cnnindonesia.com, 28/11/2024)
Acuan Hidup Layak Ala Kapitalisme
Standar hidup layak yang ditetapkan oleh BPS mengacu pada penetapan upah minimum pegawai (UMP). Upah minimum sendiri merupakan sistem pengupahan ekonomi kapitalisme yang berusaha memberikan gaji bagi pekerja seminimal mungkin, yakni sebatas memenuhi kebutuhan primer. Sistem kapitalisme bersumber kepada pemikiran materialisme dan sekulerisme.
Pemikiran materialisme menuntut para pemilik modal untuk dapat memproduksi barang dengan modal murah namun menghasilkan untung yang besar. Alhasil dalam penetapan upah bagi pekerja harus minimum agar tidak merugi. Pemikiran sekulerisme juga memberikan andil dalam hal tersebut. Pasalnya, penguasa dan pemilik modal berani melakukan kong kali kong dalam melancarkan kepentingannya.
Sudah jadi rahasia umum, jika penguasa memberikan fasilitas VVIP kepada para pemilik modal seperti tax amnesty, pemberian izin usaha pertambangan dan izin usaha lainnya. Keduanya menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan politik ataupun melancarkan bisnis tanpa peduli kepada kepentingan rakyat.
Bagaimana Standar Hidup Layak dalam Islam?
Islam itu Diin yang sempurna, tidak hanya mengatur masalah ritual ibadah namun juga aturan kehidupan seperti ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, standar hidup layak dilihat dari kelakayakan hidup individu per individu bukan per kapita. Hukum syara’ telah menjelaskan bahwa ada 3 kepemilikan yakni kepemilikan individu, umum dan negara.
Kepemilikan individu merupakan harta individu yang diperoleh seseorang melalui bekerja, hibah dan waris. Kepemilikan umum merupakan harta milik umum yang dikelola penguasa dan perolehan manfaatnya dikembalikan kepada kemaslahatan umat, harta ini seperti hutan, air dan tambang. Rasulullah Saw. bersabda “kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api dan harganya adalah haram” (HR. Ibnu Majah).
Pendek kata, penguasaan swasta terhadap harta milik umum hukumnya haram. Sebab kepemilikannya umum bagi seluruh masyarakat. Perolehan manfaat kepemilikan umum dapat diwujudkan dengan pemberian fasilitas pendidikan, kesehatan dan fasilitas lainnya secara gratis.
Sedangkan kepemilikan negara merupakan harta milik negara seperti bangunan, tanah atau harta milik baitul mal. Harta yang dimiliki negara akan dikelola sendiri oleh negara ataupun juga dapat diberikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Pemberian cuma-cuma ini membuka kesempatan rakyat untuk mendapatkan bekerja bahkan membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain karena rakyat dapat modal untuk membuka usaha sendiri.
Pendistribusian harta dari konsep kepemilikan Islam nyatanya mampu mengatasi kemiskinan struktural dan sistemik akibat penerapan sistem kapitalisme. Ini karna pendistribusi kekayaan tidak hanya beredar kepada orang kaya namun juga merata kepada seluruh rakyat. Hasilnya, rakyat dapat memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier sekalipun. Sejarah telah mencatat kegemilangan ekonomi Islam di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Rakyat hidup sejahtera hingga tidak ada penerima zakat karena rakyat sudah merasa bercukupan. Waallahu’alam bishawab
[LM/nr]