Sexs Sells Menjamur di Sosmed, Demi Apa?
Oleh : Zhiya Kelana, S.Kom
(Aktivis Muslimah Aceh)
Lensa Media News- Perkembangan teknologi saat ini, adalah hasil olah pikir manusia dengan kecerdasannya yang dituangkan kedalam bahasa pemograman. Hasilnya tentu saja sangat membantu manusia dan disisi lain juga menjadi pisau yang bisa melukai dan membunuh manusia. Contohnya saja banyak aplikasi yang berkembang, namun disisi penggunaannya bermanfaat atau tidak kembali kepada para penggunanya.
Semisalnya menjamurnya sosmed (sosial media) dimana menjadi sebuah acuan bagi generasi muda untuk menyampaikan informasi. Jika informasi itu baik maka tidak akan menjadi masalah. Namun informasi yang disampaikan lebih cenderung kepada sesuatu yang tidak bermanfaat seperti mengacu kepada sesuatu yang tidak baik.
Seperti konten laki-laki yang berpakaian, berdandan dan bertingkah laku seperti layaknya wanita sekedar untuk lucu-lucuan dan ingin menginginkan untuk mendapatkan banyak like. Dan konten yang menjurus kepada syahwat yang dilakukan baik sendiri atau dengan pasangannya. Inilah gambaran generasi yang benar-benar rusak dan jauh dari Islam. Mereka lahir dari peradaban sekuler.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sekitar 66,6% anak laki-laki dan 62,3% anak perempuan mengakses pornografi melalui media online. Survei yang dilakukan oleh Kemenkes pada 2017 menunjukkan bahwa 94% siswa pernah mengakses konten pornografi, dengan 54%-nya melalui media sosial. Meskipun banyak situs yang menyediakan konten seksual telah diblokir di Indonesia, akses ke situs tersebut masih bisa dilakukan dengan berbagai cara.(suaragong.com, 14-10-2024)
Dari sudut pandang psikologis, ada istilah “hedonic adaptation,” di mana otak kita mencari hal-hal yang memberikan kepuasan instan. Menonton video dengan elemen sensual dapat memberikan dosis dopamin, hormon yang membuat kita merasa bahagia. Selain itu, ada juga faktor FOMO (fear of missing out) di mana konten sensual sering kali dikaitkan dengan tren terkini, mendorong orang untuk ikut serta, baik sebagai penonton maupun sebagai kreator.
Prinsip “sex sells” juga berlaku di media sosial. Daya tarik seksual seringkali dapat meningkatkan popularitas atau penjualan produk. Dalam konteks modern, individu dan perusahaan mengadopsi prinsip ini untuk menarik perhatian. Platform seperti TikTok dan Instagram menjadi lahan subur bagi konten sensual, yang tidak hanya dibuat oleh selebriti tetapi juga oleh kreator individu yang menyadari bahwa menonjolkan unsur sensual dapat meningkatkan jangkauan dan interaksi.
Yang tak pernah berfikir apa akibat dari perbuatan mereka itu? pelecehan seksual, freesex, pedofilia, sodomi adalah buah dari pola pikir dan pola sikap yang salah dalam kehidupan. Dan hal ini tak bisa kita bantah karena memang benar hal ini terjadi karena mereka seolah berlindung dibalik kata HAM yang tentu saja dari sistem sekuler saat ini.
Namun dampaknya sangat hebat dan menyeluruh, bahkan mengalahkan konten yang baik mengajak kepada kebaikan seolah tergeser. Andaikan mereka tahu setiap perbuatan mereka akan akan dihisab, maka mereka tidak akan berani melakukan hal ini. Yang menjadi amal jariyahnya nanti. Seperti firman Allah berikut ini ;
QS. Al-Isra’ ayat 36, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
[LM/nr]