Pemimpin Baru dalam Bingkai Demokrasi, Menjanjikan Harapan?

Oleh: Ida Paidah, S.Pd

 

Lensamedianews.com__ Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, baru saja menyelesaikan pemilu yang sangat dinantikan oleh jutaan rakyatnya. Setelah proses panjang yang melibatkan kampanye intens, debat publik, dan partisipasi warga negara yang antusias. Indonesia kini menyambut pemimpin barunya, presiden terpilih ini diharapkan membawa angin perubahan, visi yang segar, serta menjawab tantangan besar yang dihadapi bangsa, mulai dari ekonomi, politik hingga isu lingkungan.

 

Dalam era globalisasi dan perubahan geopolitik yang dinamis, bagaimana kepemimpinan sosok presiden baru ini ke masa depan yang lebih sejahtera dan stabil, menjadi pertanyaan yang banyak pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Mengusung visi ‘Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045’, Prabowo dan Gibran yakin hanya dengan persatuan kesatuan dan kebersamaan, bangsa ini bisa mencapai cita-cita Indonesia emas.

 

Pergantian presiden, dianggap sebagian orang mampu mewujudkan harapan baru pada perubahan yang lebih baik. Anggapan ini wajar, karena mereka melihat pada sosok yang dianggap berhasil secara individu (pribadi). Bangsa ini tidak boleh lupa, sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, telah banyak pemimpin dengan latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari seorang politikus, militer, ilmuwan, wanita, hingga pribadi yang diklaim merakyat atau pro rakyat.

 

Sayangnya bergantinya kepemimpinan, tetap saja membuat bangsa ini dalam cengkeraman penjajahan ekonomi oleh para kapitalis. Lihat saja, pajak yang semakin tinggi dan beragam, biaya sekolah dan rumah sakit semakin mahal, pekerjaan semakin sulit, dan PHK di mana-mana. Politik dinasti pun semakin menjadi-jadi. Sementara politik balas budi sudah biasa terjadi. Sedangkan rakyat mati kelaparan, serta kenakalan remaja semakin di luar nalar. Inilah sekelumit bukti eksistensi penjajahan ekonomi.

 

 

Keberhasilan kepemimpinan tidak hanya terletak pada person atau individu, melainkan juga sistem yang digunakan. Sistem kepemimpinan saat ini yaitu politik demokrasi kapitalis, adalah sistem yang batil, karena bukan berasal dari Allah Al-Khaliq Al-Mudabbir.

 

Sistem demokrasi berasal dari Yunani, yang memberikan kedaulatan hukum di tangan manusia, sehingga manusia dianggap berhak membuat hukum untuk mengatur kehidupannya sendiri. Sistem ini kemudian diambil oleh ideologi kapitalisme sebagai sistem politiknya. Sebab sistem inilah yang bisa menjamin penjajahan ekonomi, oleh para kapitalis melalui Undang-undang.

 

Tidak heran, ketika rakyat menolak RUU Ciptaker, atau RUU pilkada, tetap saja Undang-undang tersebut disahkan. UU tersebut hanya sebagian kecil yang memuluskan penjajahan para kapitalis.

 

Jadi selama sistem kapitalis yang dipakai dalam kepemimpinan saat ini, niscaya rakyat tetap hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Inilah dampak penerapan sistem batil, yang cacat sejak lahir, rusak dan merusak.

 

Islam telah mengatur masalah kepimpinan, agar mendatangkan kebaikan di dunia dan di akhirat. Islam memiliki kualifikasi pribadi seorang pemimpin yang banyak dibahas dalam kitab Fiqh Siyasah. Secara umum kriteria sama, yang berbeda hanya dalam aspek tertentu dan rinciannya.
Dalam kitab Nizham Al-Hukm fil Al-Islam, hal. 50-53, dijelaskan bahwa ada 7 syarat in’iqad (pengangkatan) seorang pemimpin: 1. Muslim, 2. Laki-laki, 3. Baligh, 4. Berakal, 5. Merdeka (bukan budak atau berada dalam kekuasaan pihak lain), 6. Adil (bukan orang fasik atau ahli maksiat ), 7. Mampu (punya kapasitas untuk memimpin).

 

Tugas utama pemimpin adalah menerapkan syariat Islam secara kaffah, bukan hukum atau sistem yang lain. “Khalifah (Kepala Negara) adalah orang yang mewakili umat dalam urusan kekuasaan atau pemerintahan dan penerapan hukum-hukum syariat . “

 

Hal ini sebagaimana yang telah ditegaskan dalam firman Allah Ta’ala ;
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang ditetapkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.“ (QS Al-Maidah: 49)

 

Kewajiban ini diperjelas dengan adanya teguran dari Allah SWT, dengan menyebut mereka yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah sebagai orang fasik, zalim, bahkan kafir. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam QS 5: 44, 45 dan 47

 

Islam juga telah menetapkan kehadiran pemimpin sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Hal ini dapat dipahami dari hadist-hadist yang menjelaskan tentang kepemimpinan. Islam mampu memberi harapan kehidupan yang lebih baik dan juga keberkahan. Karena baik kriteria pemimpin maupun sistem yang diterapkan berasal dari Allah Ta’ala.

 

Sistem Islam ini dalam bahasa Fikih disebut sebagai Khilafah. Karena itu umat harus segera sadar dari tipuan demokrasi kapitalisme dan kembali pada Islam yang sempurna. Kesadaran ini menuntut umat berjuang untuk mengembalikan kehidupan Islam bersama secara berjamaah.

Please follow and like us:

Tentang Penulis