Kisruh Pilkada, Salah Siapa ?
Oleh : Ummu Haidar
LenSa Media News–Jelang pilkada kekisruhan terjadi di berbagai daerah tanah air. Salah satunya Pilkada Jawa Tengah 2024 ternodai dengan munculnya dugaan mobilisasi kepala desa (kades) untuk memenangkan salah satu kandidat. Mirisnya, praktik kotor semacam ini terjadi secara masif dalam beberapa pekan terakhir ( tirto.id, 26-10-2024).
Potensi rawan kecurangan mendorong Badan Pengawas Pemilu Kalimantan Tengah atau Bawaslu Kalteng mengingatkan masyarakat agar tidak terlibat dalam praktik serangan fajar atau politik uang menjelang Pilkada 2024. Sebab, pemberi dan penerimanya bisa dikenakan sanksi pidana ( kalteng.tribunnews.com, 27-10-2024 ).
Sementara Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Zainut Tauhid Sa’adi menyampaikan, kampanye dengan menjanjikan masuk surga kepada para calon pemilihnya, sangat berlebihan dan melampaui batas kepatutan. Hal tersebut disampaikannya untuk merespons calon bupati yang viral saat kampanye menjanjikan pemilihnya masuk surga (Republika.co.id, 27-10-2024).
Korban Kisruh Pilkada
Sudah menjadi rahasia umum jika dibalik gempita Pilkada yang dihiasi janji-janji manis politik, tersembunyi fakta ironis terkait lambatnya realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Manipulasi angaran kerap digunakan pemimpin petahana sebagai senjata politik. Menahan realisasi anggaran tertentu untuk menciptakan ketergantungan masyarakat pada bantuan yang bersifat populis di musim kampanye.
Hal tersebut meliputi bantuan tunai langsung, subsidi, atau program kesejahteraan lainnya yang sengaja ditunda realisasinya hingga mendekati hari pemungutan suara. Tujuannya jelas, menciptakan ilusi bahwa mereka bekerja untuk rakyat. Padahal realitanya justru sebaliknya.
Hubungan antara penguasa dan rakyat menjadi sangat transaksional. APBD yang seharusnya diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan. Dipolitisasi menjadi alat membeli suara. Rakyat yang berada dalam posisi lemah terpaksa menanggung beban kegagalan pemerintahannya sendiri. Kekuasaan politik yang seharusnya berfungsi sebagai alat pemberdayaan, justru berubah jadi alat represi ekonomi.
Rakyat yang berada ditengah pertarungan politik yang intens, niscaya menjadi korban atas sistem yang gagal. Mereka terpinggirkan oleh sistem yang lebih mengedepankan kepentingan elit politik daripada kebutuhan masyarakat. Alhasil, Pilkada yang seharusnya menjadi sarana memperbaiki kondisi sosial-ekonomi daerah, malah menjadi sumber ketidakstabilan, kesenjangan dan jauhnya kesejahteraan.
Biang Keladi Kisruh
Kisruh Pilkada sejatinya merupakan konsekuensi atas penerapan sistem demokrasi-kapitalisme. Sistem yang berorientasi pada pencapaian materi ini meniscayakan kebijakan yang hanya menguntungkan kepentingan segelintir orang yang memiliki kapital. Sementara rakyat kebanyakan senantiasa menjadi korban.
Sungguh ironis, Pilkada yang dibiayai dengan uang rakyat. Bukan hanya sekedar tak berpihak terhadap kepentingan rakyat. Namun justru menghadirkan sejumlah persoalan pada proses pelaksanaannya. Tingginya potensi konflik horisontal, terpecahbelahnya masyarakat dan tak terwujudnya kesejahteraan jadi kado pahit yang harus rakyat rasakan.
Sistem demokrasi tegak atas asas sekulerisme. Hal ini menjadikan peran agama termarjinalkan dalam kehidupan. Halal-haram tak dihiraukan. Asal bisa menang semua layak untuk dilakukan. Meski harus jatuh korban demi terealisasinya kepentingan. Praktik suap, jual beli suara, pemalsuan tanda tangan, jualan janji manis, menekan secara struktural dan berbagai bentuk kecurangan lain jadi fenomena yang wajar ditemukan selama proses pemilihan. Nilai agama hanya digunakan untuk meraup suara lewat pencitraan.
Pemilihan dalam Sistem Islam
Islam dengan aturannya yang sempurna menjadikan akidah Islam sebagai asas pelaksanaan pemilihan pemimpin. Proses pemilihan dipastikan berjalan tertib, lancar dan penuh kebaikan. Konflik horisontal, perpecahan antarpendukung dan potensi kecurangan terhindarkan seiring kentalnya interaksi masyarakat dengan nilai-nilai Islam. Keberkahan atas prosesi pemilihan pemimpin pun mewujud nyata dalam kehidupan.
Wajar jika mekanisme pemilihan pemimpin yang terbaik ini mampu menghadirkan pemimpin yang amanah. Politisi yang sikap politiknya senantiasa merujuk pada syariat dan tidak menghalalkan segala cara.
Mereka sadar bahwa tiap tingkah laku politiknya akan dipertanggungjawabkan tidak hanya dihadapan manusia, tapi pada Allah Ta’ala. Hingga jujur, bertakwa, dan wara’ (hati-hati) menjadi profil wajib politisi dalam setiap aktivitas mereka.
Di sisi lain, acuan masyarakat dalam memilih pemimpin terbaik haruslah memperhatikan sisi ketakwaan. Bukan popularitas semata, apalagi berdasarkan iming-iming uang yang dijanjikan. Memilih pemimpin hakikatnya wajib dilakukan. Syaratnya pemimpin terpilih harus menerapkan Islam. Wallahu a’lam. [LM/ry].