Mengenal Tren FYF: Tantangan atau Ancaman?

Eva Avivah, S.Pd. 

(MIMم_Muslimah Indramayu) 

 

LenSaMediaNews.com__Baru-baru ini kita dipertontonkan demam boneka Labubu yang terjadi di mana-mana. Boneka Labubu viral menjadi barang incaran setelah dikenakan Lisa BLACKPINK. Bukan cuma muda-mudi, orang tua pun berlomba-lomba memburu boneka monster Labubu ini. Di Indonesia sendiri, demam boneka Labubu memicu antrean panjang di salah satu pusat perbelanjaan. Fenomena ini biasa dikaitkan dengan istilah FOMO (jawapos.com, 13-10-2024).

 

Tak dapak kita pungkiri, perkembangan teknologi dan media sosial berdampak besar pada budaya berbahasa di kalangan anak muda. Salah satu bentuk perkembangannya adalah kemunculan istilah-istilah gaul yang kerap digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti FYF (FOMO, YOLO, dan FOPO). Istilah-istilah ini tak hanya mencerminkan tren, tapi juga mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku generasi muda saat ini. Lalu, apa sih FOMO, YOLO, dan FOPO?

 

Menditeksi FYF

 

FOMO (Fear of Missing Out) menggambarkan rasa takut ketinggalan atau tidak mengikuti sesuatu yang dianggap penting, seperti tren, berita, atau aktivitas sosial.

 

Seseorang yang mengalami FOMO biasanya merasa cemas karena merasa tertinggal dari orang lain yang, menurut persepsinya, sedang menikmati kehidupan atau menjalani aktivitas yang lebih menyenangkan. FOMO kerap dipicu oleh penggunaan media sosial yang memperlihatkan kehidupan orang lain yang tampak lebih menarik atau bahagia.

 

Serupa tapi tak sama, YOLO (You Only Live Once) merupakan prinsip hidup, yang mengajak seseorang untuk menikmati hidup dan berani mengambil kesempatan, karena hidup hanya terjadi sekali. YOLO sering dijadikan alasan untuk melakukan hal-hal yang impulsif atau berani, tanpa terlalu memikirkan konsekuensi jangka panjang.

 

Sedangkan FOPO (Fear of Other People’s Opinions) adalah rasa takut atau kekhawatiran terhadap penilaian atau opini orang lain. Seseorang yang mengalami FOPO cenderung sangat memperhatikan apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya, dan sering kali menyesuaikan diri untuk menghindari kritik atau tanggapan negatif.

 

Ketiga fenomena ini memiliki beberapa faktor pemicu yang saling berkaitan, terutama dalam konteks kehidupan modern yang dipenuhi oleh tekanan sosial dan ekspektasi tinggi, di antaranya: Pengaruh media sosial, tekanan dari lingkungan sekitar, pola asuh dan pengalaman masa kecil, budaya populer dan stereotip media.

 

Rahim FYF

 

Jika ditelisik, kelahiran FYF sendiri berasal dari rahim sekuler-kapitalis yang mendewakan prinsip kebebasan. Sehingga fenomena ini mendapat pemakluman. Adanya jaminan kebebasan individu untuk melakukan sesuatu menjadikan segala keputusan personal mereka sebagai privasi yang tidak perlu dipermasalahkan.

 

Sistem ini juga telah menciptakan berbagai standar-standar sosial yang berorientasi pada kemewahan materi. Kondisi ini telah membuat masyarakat berlomba-lomba untuk mengejar kebahagiaan yang bersifat jasadiah semata. Tujuannya tidak lain untuk mendapat pengakuan di tengah masyarakat. Gaya hidup penuh prestise ini praktis menciptakan kesenjangan sosial akut sekaligus memicu konsumerisme.

 

FYF tidak lebih dari fenomena yang menunjukkan krisis jati diri di kalangan generasi. Sudut pandang kapitalisme yang memaknai kebahagiaan sebatas gemerlapnya dunia telah berdampak pada labilnya generasi dalam memaknai hidup.

 

Generasi pun diposisikan hanya sebagai pasar besar para pebisnis. Melalui fenomena-fenomena ini, generasi begitu mudah diarahkan untuk memenuhi keinginan-keinginan yang tidak mereka butuhkan. Terlebih lagi, sistem kapitalisme-lah yang menciptakan ruang hingga generasi menjadi sasaran empuk berbagai tren yang tidak berfaedah.

 

Persepsi Islam

 

Islam memandang bahwa generasi memiliki potensi besar dan kekuatan yang dibutuhkan umat sebagai agen perubahan. Berada pada usia produktif menjadikan para generasi memegang peranan penting dalam menciptakan model masyarakat yang tidak hanya sibuk dengan perkara duniawi saja. Sebaliknya, generasi memiliki kontribusi besar dalam mengarahkan masyarakat yang memahami pentingnya dimensi ukhrawi dalam menjalani kehidupan.

 

Rasulullah saw. bersabda: “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba di hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang lima hal: Tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu).” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan bahwa Allah menuntut pertanggungjawaban tentang masa muda kita.

 

Jika sistem hari ini seakan memberi pemakluman pada usia muda untuk menikmati berbagai kemewahan hidup, Islam justru berbeda. Islam menegaskan bahwa usia muda adalah fase ketika manusia seharusnya memberikan amal terbaik. Negara berperan sentral untuk menumbuhkan cita-cita untuk membangun dan melanjutkan peradaban dengan mentalitas keimanan pada diri generasi. Ini adalah kekuatan besar suatu peradaban yang tiada bandingnya. [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis