Gen Z dalam Lingkaran Materialisme
Oleh: Leora Andovita
Lensa Media News – Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi salah satu tren besar yang menguasai Generasi Z saat ini. Gen Z sangat rentan terhadap fenomena ini. Ketergantungan pada media sosial, seperti Instagram dan TikTok membuat mereka terperangkap dalam tekanan untuk selalu mengikuti gaya hidup yang glamor dan trendi. Masih teringat fenomena “Citayam Fashion Week” yang muncul di kawasan Dukuh Atas. Para remaja Gen Z ramai memamerkan gaya busana mereka, mengikuti tren di media sosial, bahkan terinspirasi oleh gaya selebriti atau influencer agar tidak merasa tertinggal. (Kompas.com، 28-04-2024).
FOMO telah mempengaruhi cara mereka berinteraksi, berpikir, dan bahkan membuat keputusan hidup. Gen Z seringkali merasa takut jika tidak mengikuti gaya hidup yang ditampilkan oleh influencer atau selebriti media sosial, mereka akan dianggap tidak relevan atau kurang “keren.” (Kumparan.com, 18-10-2024). Hal ini menimbulkan rasa cemas yang terus menerus dan mempengaruhi kesehatan mental mereka. Kebutuhan untuk selalu terlihat sukses, bahagia, dan sempurna mendorong mereka untuk mengadopsi gaya hidup materialistik, di mana kepemilikan barang-barang mewah dan pengalaman hidup yang mahal menjadi ukuran kebahagiaan dan kesuksesan.
Kapitalisme Akar dari Gaya Hidup Hedonistik
Jika ditelusuri lebih jauh, FOMO dan gaya hidup materialistik ini tidak lepas dari sistem kapitalisme demokrasi yang mendominasi dunia saat ini. Sistem ini mendorong kebebasan individual dan mengejar keuntungan materi sebagai prioritas utama. Kapitalisme menciptakan lingkungan di mana kebebasan tanpa batas, pemuasan hasrat pribadi, dan konsumsi berlebihan menjadi norma. Gen Z, yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ini, akhirnya mengadopsi gaya hidup hedonistik dan konsumerisme yang terus meningkat. (kompas.com, 18-10-2024).
Kapitalisme, melalui berbagai media, menanamkan pandangan bahwa kebahagiaan bisa dicapai melalui konsumsi. Oleh karena itu, Gen Z menjadi target empuk industri besar yang memanfaatkan ketergantungan mereka pada teknologi dan media sosial. Perusahaan-perusahaan ini menciptakan ilusi bahwa memiliki barang-barang mewah atau mengikuti gaya hidup mahal adalah tanda kesuksesan. Lebih parahnya lagi, regulasi yang ada dalam sistem kapitalis tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi Gen Z, tetapi justru semakin menjerumuskan mereka ke dalam lingkaran konsumsi tanpa batas.
Dampak Negatif pada Potensi Gen Z
Akibat dari sistem kapitalisme demokrasi ini generasi Z terjebak dalam pola pikir materialistik dan hedonistik, di mana kebahagiaan dan kesuksesan diukur dari seberapa banyak mereka bisa memiliki barang-barang mewah atau mengikuti tren terkini. Padahal, potensi Gen Z jauh lebih besar dari sekadar konsumsi barang-barang material. Rasa cemas dan tekanan sosial membuat mereka merasa terisolasi dan tidak mampu mencapai standar kesuksesan yang dipromosikan oleh media sosial (kompas.com, 21-09-2024). Banyak di antara mereka yang kehilangan motivasi untuk mengembangkan potensi diri mereka. Padahal, Gen Z memiliki peran penting sebagai agen perubahan dalam masyarakat.
Di sisi lain, negara dengan regulasi yang ada dalam sistem kapitalis demokrasi lebih memfasilitasi konsumsi daripada membangun sistem yang melindungi generasi muda dari dampak buruk media sosial dan gaya hidup materialistik. Negara seharusnya bertanggung jawab dalam menyediakan lingkungan yang sehat dan mendukung untuk perkembangan potensi individu, bukan justru mendorong generasi muda terjerumus dalam lingkaran kapitalisme yang memanjakan industri besar.
Solusi Islam untuk Mengembangkan Potensi Gen Z
Berbeda dengan sistem kapitalisme demokrasi, Islam memiliki pandangan yang sangat jelas mengenai pentingnya peran pemuda, termasuk generasi Z, dalam membangun peradaban yang gemilang. Dalam pandangan Islam, pemuda merupakan agen perubahan yang memiliki potensi luar biasa untuk memajukan masyarakat. Islam menempatkan pemuda sebagai kekuatan utama dalam dakwah, pendidikan, dan pembangunan sosial. Potensi ini sangat dibutuhkan untuk membangun kembali peradaban Islam yang pernah berjaya di masa lalu. (Muslimahnews.net,18-10-2024).
Pendidikan dalam Islam bukan hanya bertujuan untuk mencetak individu yang sukses secara material, tetapi juga untuk membangun karakter dan kepribadian Islami yang kokoh. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan dan kesuksesan tidak diukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki, tetapi dari seberapa dekat seseorang dengan Allah dan seberapa besar kontribusinya dalam memajukan umat manusia. Negara Islam bertanggung jawab dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan potensi individu, serta menjamin kebutuhan dasar masyarakat tanpa menjerumuskan mereka ke dalam lingkaran konsumsi berlebihan. Sistem ini memastikan Gen Z dapat mengembangkan potensi mereka secara maksimal dan berkontribusi dalam membangun peradaban yang berlandaskan nilai keadilan, kebajikan, dan kemanusiaan.
Wallahu a’lam bishawab.
[LM/nr]