Food Estate, Bukan Solusi!
Oleh : Aprilya Umi Rizkyi
Komunitas Setajam Pena
LenSa Media News–Ada program baru yaitu Food Estate, tengah mengalami kemandekan. Setelah tiga tahun berjalan, ribuan hektare lahan proyek di Kalimantan Tengah lagi-lagi ditemukan terbengkalai. Banyak ditumbuhi rerumputan dan semak-semak. Bahkan, ada ratusan hektare yang beralih menjadi perkebunan sawit swasta. Beberapa kali mengalami gagal panen, para petani tak lagi menanam padi di area tersebut.
Dilansir dari BBC News Indonesia, 14 Oktober 2024, tim menemukan kondisi yang sama saat mengunjungi salah satu desa yang diteliti, yakni Desa Tajepan, Kapuas, Kalimantan Tengah. “Sekarang tidak ada hasilnya. Di tanah yang lebih tinggi, ada yang malah menanam sawit karena lebih berhasil. Kalau untuk padi, gagal terus, “kata Sanal, salah satu petani yang ikut program Food Estate.
Ketika itu, keluarga Sanal ikut menggarap proyek lahan gambut sejuta hektare di desa tetangga, yaitu desa Palingkau Asri dan desa Palingkau Jaya. Ini adalah proyek yang dicanangkan oleh Soeharto untuk lumbung pangan nasional, namun hasilnya berujung gagal.
Dari fakta di atas, seolah-olah pemerintah asal saja membuat keputusan, dimana daerah yang dijadikan pusat Food Estate. Betapa tidak, pemerintah tak melakukan uji coba atau semacam penelitian ilmiah agar mengetahui lahan di daerah mana yang memiliki potensi bagus untuk dijadikan proyek tersebut.
Selain itu, tanaman apa yang cocok untuk dijadikan proyek tersebut agar berhasil. Namun faktanya pemerintah justru bersikeras untuk tetap menanam padi di daerah yang tidak bisa tanaman padi untuk tumbuh dan berkembang. Apalagi sampai panen raya, itu adalah hal yang mustahil terjadi.
Sejatinya perlu disadari oleh berbagai pihak baik dari pemerintah dan juga masyarakat sendiri. Dimana adanya proyek Food Estate bukanlah solusi dari berbagai krisis pangan yang ada di negeri ini. Ini adalah salah satu langkah sistem kapitalis-sekuler yang tujuannya menyelesaikan perkara pangan justru menimbulkan permasalahan baru.
Betapa tidak? Semestinya, proyek ini fokus pada pengolahan tanah yang bagus, teknologi yang mendukung, bibit tanaman yang unggul dan lain-lain, nyatanya tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah.
Jauh berbeda dengan sistem Islam. Pangan adalah kebutuhan dasar rakyat yang pemenuhannya wajib dijamin oleh negara, dari hulu hingga hilir. Artinya, dari penanaman, pemanenan, pengolahan, pengemasan, distribusi, hingga sampai ke tangan konsumen terakhir, yaitu rakyat.
Negara tidak boleh menyerahkan urusan pangan pada swasta karena akan membahayakan rakyat. Jika swasta mendominasi sektor pangan mereka akan memonopoli dan menaik turunkan harga sesukanya sehingga rakyat akan kesulitan dan terbebani untuk mendapatkan pangan.
Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak rakyat dan negara wajib memenuhinya. Seorang penguasa dalam Islam berposisi sebagai pengurus. Sebaliknya dalam sistem saat ini negara hanya berperan sebagai pembuat regulasi. Mirisnya, regulasi yang dibuat saat ini justru mengabdi pada kepentingan korporasi.
Kebijakan yang diambil pemerintah saat ini cenderung mengarah pada kerusakan di muka bumi yang menzalimi rakyatnya sendiri. Boro-boro ketahanan pangan bisa terwujud, justru hutan menjadi rusak, lahan pertanian semakin sempit, dan bencana pun terjadi di mana-mana.
Lahan memiliki kondisi yang berbeda-beda sehingga penggunaannya harus sesuai dengan kondisi dan unsur hara yang dimilikinya. Lahan pertanian yang subur harus dipertahankan menjadi lahan pertanian, tidak boleh dialihfungsikan. Sedangkan untuk kebutuhan permukiman bisa menggunakan tanah selain lahan pertanian. Hutan harus dijaga kelestariannya, tidak boleh dialihfungsikan secara sembarangan.
Adapun untuk memenuhi kebutuhan akan lahan pertanian, negara dalam sistem Islam (Khilafah) akan menghidupkan lahan mati, yaitu lahan yang tidak dikelola oleh pemiliknya selama lebih dari tiga tahun berturut-turut. Lahan tersebut akan diambil oleh negara dan diberikan pada rakyat lain yang membutuhkan dan mampu mengelolanya, dengan cara menanaminya sehingga menjadi lahan produktif. Kebijakan menghidupkan tanah mati ini dilakukan berdasarkan hadis, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud).
Menghidupkan tanah mati merupakan upaya agar tanah terjaga sehingga lahan pertanian luasnya pun akan terjaga. Dari sini maka jumlah produksi pertanian menjadi besar dan mampu mencukupi pangan yang rakyat butuhkan.
Kemudian negara akan melakukan intensifikasi, dengan memberikan subsidi besar untuk petani dan menyediakan alat pertanian yang tercanggih, bibit yang terbaik serta obat-obatan yang dibutuhkan untuk bercocok tanam, sehingga hasil panen bisa optimal. Dengan demikian ketahanan pangan akan terwujud nyata dan kesejahteraan rakyat pun akan tercapai, Wallahualam bissawab. [LM/ry].