Otak – Atik Dana Pendidikan, Panik APBN Oleng

Oleh: Ariani

(Guru dan penulis Muslimah)

 

Lensa Media News – Komisi X DPR RI sepakat menolak usulan untuk mengkaji ulang anggaran wajib (mandatory spending) untuk pendidikan sebesar 20 % dari APBN karena dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 Ayat 4 jelas menyebutkan bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional (merdeka.com, 06/09/2024). Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI mengusulkan agar anggaran wajib (mandatory spending) untuk pendidikan sebesar 20% dari belanja negara dikaji ulang. Sebab, dia menilai belanja wajib 20% seharusnya dialokasikan dari pendapatan negara, bukan belanja negara, mengingat belanja negara cenderung tidak pasti.

Ketua Komisi X DPR RI Saiful Huda dengan tegas menolak usulan itu karena jika diambil dari pendapatan negara, maka akan ada potensi anggaran pendidikan mengalami penurunan. Konsekuensinya kalau dari pendapatan akan ada penurunan Rp130 triliun. Usulan ini juga akan mengakibatkan, kualitas layanan pendidikan di Indonesia turut menurun. Sementara itu, dengan anggaran saat ini, masih ada anak yang terkendala biaya untuk sekolah dan pemerataan pendidikan masih jadi masalah (rri.co.id, 08/09/2024)

Rupanya rencana otak-atik anggaran pendidikan ini adalah buah kepanikan ibu Menteri karena APBN mengalami defisit Rp93,4 triliun atau 0,41 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per Juli 2024 (antaranews.com,14/09/2024).

APBN 2024 ini juga sempat oleng karena melonjaknya anggaran pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 2024 yang naik sekitar Rp1,9 triliun menjadi Rp42,5 triliun. Selain itu , anggaran untuk perayaan upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI (HUT RI) ke-79 di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 17 Agustus 2024 mencapai Rp87 miliar, lebih tinggi dibandingkan anggaran HUT RI di Jakarta tahun 2023 yang tercatat Rp53 miliar (antaranews.com, 14/08/2024)

Statement Menteri Keuangan yang mengatakan perlu tafsir ulang atas mandatory spending 20% anggaran pendidikan dalam APBN dengan dalih mengurangi beban APBN di tengah banyaknya problem soal layanan pendidikan adalah bukti lepas tangannya negara dalam memenuhi hak rakyat mendapatkan jaminan pendidikan terbaik dan terjangkau. Penguasa juga abai dalam membuat skala prioritas anggaran belanja negara. Di mana potret Pendidikan Indonesia masih memprihatinkan dengan kekurangan infrastruktur di sana-sini mulai bangunan sekolah ambruk, jalan yang tidak layak untuk akses ke sekolah, akses internet yang tidak merata di daerah bahkan sumber belajar yang minim, berdasarkan data Perpustakaan Nasional dalam katadata.co.id (30/06/2024) terdapat 77.337 ribu SD hingga SMA/ SMK yang tidak memiliki perpustakaan.

Pendidikan adalah pilar utama mencerdaskan bangsa demi peradaban emas ke depan. Sungguh aneh jika bu Menteri justru menomerduakan anggaran pendidikan dengan banyak dalih. Dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh biaya pendidikan, baik gaji para guru atau dosen, pembangunan dan perawatan sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Hal ini berbeda dalam system kapitalisme yang menempatkan rakyat sebagai konsumen dagangannya. Bahkan rakyat dipaksa membiayai kehidupannya sendiri dengan aneka pungutan dengan dalih untuk membangun infrastruktur dan pelayanan social. Pendidikan gratis yang dibangga-banggakan rezim sekarang semua itu diperoleh dari tarikan pajak kepada rakyat. Dalam system kapitalisme, pajak adalah pilar pertama anggaran pendapatan negara.

Dalam sistem Islam, pemerintah menyediakan pendidikan gratis karena dalam Islam, penguasa harus mengurusi dan bertanggung jawab pada kesejahteraan rakyatnya sesuai hadist Rasullah yaitu “Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR Muslim). Pembiayaan pendidikan Dalam system Islam, pendidikan yang diselenggarakan negara memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara. Sejarah mencatat, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum termasuk pendidikan, berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur. Terdapat dua sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : pos kepemilikan negara (fai` dan kharaj ,ghanimah, khumus dan jizyah) dan pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (ejournal.iainmadura.ac.id, 01/06/2014)

Kegemilangan sistem pendidikan Islam tentu tidak terpisahkan dari sistem Islam secara kaffah. Sistem Islam kaffah hanya bisa diwujudkan oleh institusi yang menerapkannya, yaitu Khilafah. Sejarah emas pendidikan, keilmuan dan peradaban seperti yang telah ditulis dengan tinta emas menjadi bukti nyata bahwa kunci kejayaan Islam dan umatnya hanya akan terwujud ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah dengan tegaknya kembali Khilafah institusi yang menerapkannya.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis