Kemerdekaan Hakiki adalah Tunduk hanya kepada Allah SWT
Oleh: Hj. Lia Fakhriyah, S.P
LenSa MediaNews__
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu“ (QS An Nahl: 36)
Allah ﷻ telah meminta manusia, untuk senantiasa hanya menyembah-Nya dan menjauhi taghut.
Taghut adalah istilah dalam agama Islam yang merujuk kepada yang disembah selain Allah disertai kerelaan dengan peribadatan yang dilakukan oleh penyembah atau pengikutnya, atau rela dengan ketaatan orang yang menaatinya dalam melawan perintah Allah.
Jika dikaitkan dengan status kita sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah, makhluk yang tubuhnya diatur oleh aturan Allah, maka kita di hadapan Allah adalah makhluk yang sangat bergantung kepada-Nya. Tidak mungkin kita untuk independen terhadap Allah. Namun kepada manusia sebagai sesama makhluk maka kita harus independen. Atau dengan kata lain kita harus merdeka.
Merdeka (bahasa Sanskerta: महर्द्धिक maharddhika yang berarti kaya, sejahtera dan kuat) adalah bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu. Dalam kata bahasa Melayu dan Indonesia yang bermakna bebas atau tidak bergantung namun independen.
Jika dulu Indonesia dijajah Belanda, ini adalah masa kolonialisme Belanda. Saat ini perlu kita detili apakah aturan yang diterapkan sudah bebas dari belenggu kekuasaan manusia?
Jika kita melihat sekarang Indonesia
1. Punya ketergantungan ekonomi, dengan bergantung pada investasi asing
2. Dibelenggu hutang luar negeri
3. Dipengaruhi kebijakan politik asing
4. Dipengaruhi budaya asing. Budaya Islam sebagai jati diri muslim tidak dikenal luas.
Maka ini semua adalah tanda bahwa kita belum merdeka. Hanya bentuk penjajahannya tidak seperti dulu Belanda menjajah Indonesia, namun penjajahan dalam bentuk yang baru atau neo kolonialisme.
Kemerdekaan dalam Islam bukan sekadar kebebasan fisik dari penjajahan atau penindasan, tetapi juga mencakup pembebasan jiwa dari kebodohan, kebiasaan buruk, dan ketergantungan pada makhluk selain Allah. Maka hal yang perlu dilakukan adalah:
1. Memahami apa yang Allah inginkan untuk manusia lakukan. Berarti kita harus terbebas dari kebodohan terhadap Al-Qur’an
2. Menerapkan apa yang ada dalam AlQuran. Berarti meninggalkan kebiasaan buruk yang bersumber dari aturan manusia
3. Membangun kekuatan ekonomi yang tidak bergantung kepada pihak asing. Sistem ekonomi Islam menekankan keadilan, distribusi kekayaan yang merata, larangan riba dan pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Karena itu pengelolaan sumber daya alam wajib dilakukan oleh Negara, haram diserahkan kepada pihak swasta (termasuk ormas) dan asing, untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau perusahaan swasta dan asing. Rasulullah ﷺ bersabda :
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُركاءُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ
Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga hal: hutan, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadis ini dijadikan dalil oleh para ulama, antara lain Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, bahwa sumber daya alam, tak hanya ketiga jenis yang disebutkan dalam hadis tersebut, seperti tambang, yang menguasai hajat hidup orang banyak, adalah bagian dari kepemilikan umum (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 218)
Inilah fungsi kekuasaan dalam Islam. Kekuasaan digunakan untuk menjaga manusia agar tetap merdeka di hadapan manusia atau makhluk. Tapi tunduk kepada Allah ﷻ dengan cara menerapkan aturanNya dalam menyelenggarakan kehidupan di dunia ini.