Peradilan Bebas Mafia, Hanya Ada dalam Sistem di Bawah Al-Qur’an  dan As-Sunnah

Oleh: Hj Lia Fakhriyah, S.P

 

Lensamedianews.com__

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
(Adh-Dhariyat : 56)

 

Dalam ayat ini Allah ﷻ menjelaskan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah. Ibadah artinya adalah tunduk patuh hanya kepada Allah ﷻ. Menjadi seorang hamba bagi tuannya. Inilah yang senantiasa seorang muslim ucapkan dalam rakaat shalatnya, saat membaca surat Al-Fatihah ayat 5 “Hanya kepadaMu kami beribadah,  dan memohon pertolongan”, إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Bentuk ibadah kita adalah hanya tunduk dan patuh kepada Allah ﷻ. Patuh dalam seluruh aspek kehidupan. Maka saat Allah ﷻ memerintahkan manusia untuk beribadah kepadaNya (Al-Baqarah:21), maka kewajiban manusia untuk patuh. Termasuk patuh terhadap ayat di bawah:

۞ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(QS An-Nisa’ : 58)

 

Dari ayat ini dipahami bahwa manusia diminta untuk menunaikan amanah dan menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. Ma’na adil dalam beberapa tafsir disampaikan yaitu menghukumi dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka menjadi tanggungjawab pemimpin untuk menjalankan amanah dari Allah yaitu menjalankan aturan Allah untuk diterapkan kepada manusia. Janji Allah, manusia akan dijaga dari berbagai kesulitan hidup (QS Al-A’raf:96)

 

Salah satu kesulitan yang dihadapi manusia saat ini adalah adanya  mafia di peradilan. Mafia peradilan sesungguhnya hanya bisa ditumpas dengan sistem Islam. Sebabnya antara lain:

Pertama, Islam menekankan pentingnya iman dan takwa sebagai integritas bagi aparat penegak hukum. Menanamkan kepada diri para penegak hukum, tentang tugas yang Allah ﷻ berikan di dunia. Yaitu beribadah hanya kepada Allah ﷻ. Dan menggambarkan konsekuensi ketaatan, yaitu meraih surgaNya, dan sebaliknya ketidaktaatan berkonsekuensi neraka.   Abu Buraidah ra. menuturkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

اَلْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ اثْنَانِ فِي النَّارِ وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ

Hakim itu ada tiga macam: dua di neraka dan satu masuk surga. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu menetapkan keputusan dengan benar, ia di surga. Seorang hakim yang mengadili manusia dengan kebodohannya, ia di neraka. Seorang hakim yang menyimpang dalam memutuskan hukuman, ia pun di neraka (HR Abu Dawud).

 

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh dalam kitab Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm menyatakan bahwa seorang qâdhi (hakim), selain harus memenuhi syarat muslim, baligh, berakal, faqih dan cerdas, ia juga harus punya karakter adil. Orang adil adalah orang yang tidak fasik alias bukan pelaku kemaksiatan. Bagaimana hukum bisa tegak dari mental para pelaku maksiat?

 

Kedua, para hakim dalam peradilan Islam hanya memberlakukan hukum Islam dalam semua kasus peradilan yang mereka hadapi. Seperti yang disebutkan dalam surat anNisa ayat 58 di atas. Aturan Allah diberlakukan untuk seluruh manusia. Dan jika penegak hukum tidak menjalankan aturan Allah maka akan berkonsekuensi mendapatkan kemarahanNya.  Allah ﷻ berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah kaum kafir (TQS al-Maidah [5]: 44).

 

Ini adalah bentuk kemarahan Allah bagi orang yang tidak taat, dengan memberikan predikat kafir. Karena membangkang kepada Dzat yang telah menciptakan manusia beserta seluruh alam. Yaitu bukan menggunakan hukum Allah namun menggunakan hukum warisan kolonial yang berbasiskan peradilan Romawi mengandung banyak interpretasi sehingga orang bisa mencari celah untuk lolos dari hukuman.

 

Ketiga, para hakim, sebagaimana para pejabat dan pegawai dalam Negara Khilafah akan diberikan gaji yang layak untuk memenuhi kehidupan mereka. Mereka berhak atas gaji, rumah, kendaraan bahkan pembantu jika memang dibutuhkan. Dengan itu peluang untuk menerima gratifikasi dapat dielakkan. Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ، ‌فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا، أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ، أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ ‌فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا، أَوْ لَيْسَتْ لَهُ ‌دَابَّةٌ ‌فَلْيَتَّخِذْ ‌دَابَّةً، وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ

Siapa yang diserahi tugas untuk mengurus suatu pekerjaan untuk kami, sementara ia tidak memiliki rumah, hendaklah ia mengambil rumah; atau ia belum beristri, hendaklah ia menikah; atau ia tidak memiliki pembantu, hendaklah ia mengambil pembantu; atau ia tidak memiliki kendaraan, hendaklah ia mengambil kendaraan. Siapa saja yang mendapatkan sesuatu selain hal itu maka itu adalah kecurangan (HR Ahmad).

 

Keempat, vonis hakim dalam satu pengadilan mengikat semua pihak yang terlibat di dalamnya secara mutlak. Tidak ada proses naik banding, kasasi, atau Peninjauan Kasus (PK), remisi, grasi, dsb. Dengan begitu peluang terjadinya suap-menyuap atau mafia peradilan semakin berkurang. Allah ﷻ berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

Tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (TQS Al-Ahzab [33]: 36).

 

Kelima, Khalifah akan menjatuhkan sanksi keras bagi aparat penegak hukum seperti polisi, hakim dan lainnya yang mendapatkan gratifikasi seperti suap untuk mencurangi keputusan pengadilan. Para pelaku diancam dengan laknat Allah ﷻ.

Sabda Nabi ﷺ :
Laknat Allah atas pemberi suap dan penerimanya (HR Ahmad).

 

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dengan tegas melakukan audit terhadap harta para pejabatnya. Beliau juga menyita harta para pejabatnya yang dinilai berlebih dari seharusnya. Demikian seperti yang beliau lakukan atas kelebihan harta Abu Hurairah ra. Beliau juga menyita hadiah yang didapat Abu Sufyan dari pemberian Muawiyah, anaknya yang menjadi gubernur di Syam (Lihat: Ibnu al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, 2/47; Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 7/114).

 

Mustahil Tanpa Islam

Penyebab paling mendasar dari kegagalan sistem hukum dan peradilan hari ini karena ia dibangun di atas asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Tidak ada ruang untuk memiliki rasa ketaatan kepada Allah ﷻ. Tidak ada rasa takut saat hukumnya pun dibuat oleh manusia sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsunya.
Di dalam Islam, para aparat penegak hukum selalu diingatkan agar jangan pernah merasa aman dari hisab dan balasan Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman:

اَفَاَمِنُوْا مَكْرَ اللّٰهِۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْخٰسِرُوْنَ

Apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain kaum yang rugi (TQS al-A’raf [7]: 99).

 

Ketakwaan itulah yang menjadikan Qadhi Syuraikh memutuskan perkara dengan adil. Karena keadilannya, seorang penguasa sekalipun, seperti Khalifah Ali bin Abi Thalib ra., kalah dalam sengketa melawan orang Yahudi di pengadilan. Pasalnya, menurut Qadhi Syuraikh, Khalifah Ali tidak punya saksi dan bukti kuat menuduh orang Yahudi mencuri baju besi miliknya. Demikian sebagaimana dikisahkan antara lain oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayaah wa an-Nihaayah dan Ibnu Atsir dalam Al-Kâmil fî at-Târîkh.

 

Jika kaum muslim merindukan pengadilan yang bersih dan mampu menciptakan keadilan hakiki, maka itu hanya ada pada sistem pengadilan Islam yang menerapkan hukum-hukum Allah ﷻ di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Karena itu mari terus kita gaungkan seruan penegakan syariah Islam secara kâffah dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam peradilan Islam. Dengan itu keadilan dapat tercipta dengan sesungguhnya.

Please follow and like us:

Tentang Penulis