Iman yang Kuat, Menjaga Amal sesuai Sumpah di Bawah Al-Qur’an
Oleh Hj Lia Fakhriyah, S.P
Lensamedianews.com__ Allah ﷻ memerintahkan manusia berpikir, seperti yang dapat kita lihat dari banyak ayat, antara lain:
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَىٰ طَعَامِهِ (QS ‘Abasa : 24)
Maka wajiblah manusia memperhatikan makanannya
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ (QS At-Tariq : 5)
Maka wajiblah manusia untuk memperhatikan dari apa dia diciptakan
Berpikir tentang diri manusia seperti yang diperintahkan di ayat-ayat di atas, akan mengantarkan kepada realitas bahwa manusia punya keterbatasan. Manusia tunduk kepada aturan alam yang telah Allah ciptakan. Manusia adalah makhluk yang lemah. Manusia butuh kepada yang lain. Manusia butuh modal untuk hidup. Manusia butuh petunjuk untuk hidup dan sukses dalam kehidupannya.
Siapakah yang memberikan aturan? Siapakah yang memberikan modal kepada manusia untuk hidup? Siapakah yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk hidup dan sukses?
Jawabannya adalah Allah ﷻ. Hal ini kita ketahui dari firman-Nya antara lain:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (QS Al-Baqarah : 29)
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Jika kita bertemu dengan seorang manusia yang memberikan modal kepada kita untuk berbisnis. Tidak cukup dengan memberikan modal, tapi dia juga memberikan petunjuk bagaimana cara mengelola modal dan meraih sukses. Kemudian orang tersebut menyampaikan, modalnya tidak perlu dikembalikan, keuntungannya juga buat kita. Apakah sebutan yang akan kita sematkan pada orang tersebut? Orang yang sangat dermawan. Sikap dan perilaku yang muncul kepada orang tersebut adalah loyalitas.
Namun apa yang terjadi pada manusia? Kenapa kepada Allah yang telah memberikan segala sesuatu yang jauh berlipat-lipat dari gambaran di atas, tidak memunculkan loyalitas kita kepada-Nya? Salah satu jawabannya adalah karena meninggalkan aktivitas berpikir atau malas berpikir. Yang membuat manusia tidak sampai kepada kesimpulan yang benar.
Sungguh loyalitas manusia akan dipertanyakan kelak di yaumil hisab. Termasuk memberikan sumpah jabatan di bawah Al-Qur’an pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ.
Jabatan kekuasaan diamanahkan Allah ﷻ kepada Rasulullaah ﷺ. Begitu pentingnya kekuasaan, Allah ﷻ mengajarkan kepada Rasulullah ﷺ suatu doa agar beliau diberi kekuasaan. Tentu bukan sembarang kekuasaan, tetapi kekuasaan yang bisa digunakan untuk menolong agama-Nya. Demikian sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَٱجْعَل لِّى مِن لَّدُنكَ سُلْطَٰنًا نَّصِيرًا
Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku dengan cara keluar yang benar, serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (agama Allah).” (TQS al-Isra’ [17]: 80)
Berkaitan dengan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir يرحمهالله, dengan mengutip Qatadah رضي الله عنه, menyatakan: “Sungguh Nabi Muhammad ﷺ menyadari bahwa beliau tidak punya daya/kekuatan untuk menegakkan agama ini (Islam), kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong Kitabullah (Al-Qur’an), melaksanakan hudûd Allah, menunaikan berbagai kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah (Islam). Sungguh kekuasaan adalah rahmat yang Allah berikan kepada para hamba-Nya. Andai bukan karena kekuasaan tersebut, orang-orang bisa saling menyerang (menzalimi) satu sama lain sehingga pihak yang kuat bisa memangsa pihak yang lemah.” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 5/111)
Dari penjelasan Imam Ibnu Katsir tersebut bisa disimpulkan bahwa ada dua fungsi kekuasaan yang utama:
Pertama, untuk menegakkan agama Islam. Inilah yang sekaligus menjadi motif utama Rasulullah ﷺ untuk berdoa kepada Allah ﷻ agar diberi kekuasaan. Faktanya, ketika pada akhirnya Rasulullah ﷺ benar-benar menjadi penguasa (kepala negara) Daulah Islam di Madinah, kekuasaan beliau benar-benar diorientasikan untuk menegakkan Islam dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Kedua, untuk mengurus berbagai urusan dan kepentingan masyarakat. Tentu dengan menggunakan syariah Islam. Inilah juga yang dipraktikkan oleh Rasulullah ﷺ sebagai penguasa (kepala negara). Dengan itu semua warga negara (muslim maupun non-muslim) terurus dan terayomi dengan baik. Tidak ada yang berani saling menzalimi. Tidak ada pihak yang kuat memangsa pihak yang lemah.
Dengan demikian, dalam pandangan Islam, tidak ada artinya kekuasaan jika tidak digunakan untuk menegakkan Islam dan menyebarluaskan dakwah Islam. Tidak ada artinya pula kekuasaan jika tidak digunakan untuk mengurus berbagai urusan dan kepentingan rakyat dengan syariah Islam.
Karena itu dalam Islam, pemimpin haruslah orang yang adil dan amanah. Demikian pula para pembantunya. Mereka haruslah orang-orang yang amanah sekaligus memiliki kompetensi yang sesuai dengan tugasnya. Karena itu pula mereka diangkat bukan karena faktor transaksional. Juga bukan karena faktor kedekatan atau kekerabatan. Ini karena Allah ﷻ telah menegaskan agar amanah harus diberikan kepada ahlinya:
Sungguh Allah ﷻ menyuruh kalian menyerahkan amanah kepada orang yang berhak menerima amanah itu (TQS an-Nisâ’ [4]: 58).
Tugas kenegaraan juga seharusnya diberikan kepada orang yang memiliki karakter dan moralitas. Salah satunya kejujuran. Nabi saw. ﷺ menegaskan bahwa kejujuran akan membuahkan kebaikan. Sebaliknya, kedustaan akan menghasilkan kejahatan. Beliau bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ…وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّار…
Bersikap jujurlah kalian, karena kejujuran membawa kebaikan, dan kebaikan membawa (pelakunya) ke surga… Jauhilah oleh kalian dusta, karena kedustaan mengantarkan pada kejahatan dan kejahatan mengantarkan (pelakunya) ke neraka… (HR Muslim)
Selain itu Islam juga menekankan pentingnya sistem yang baik untuk menjalankan kekuasaan. Sistem yang baik merujuk pada sistem pemerintahan yang berlandaskan akidah dan syariah Islam. Bukan yang didasarkan pada akidah dan sistem sekuler sebagaimana saat ini.
Allah ﷻ menegaskan bahwa hanya sistem hukum-Nya yang baik yang wajib diambil dan diterapkan. Sebaliknya, sistem hukum jahiliah wajib ditolak dan ditinggalkan. Allah ﷻ berfirman:
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50)
Taat menjalankan perintah Allah ﷻ, dan meninggalkan hukum buatan manusia adalah bentuk loyalitas kita kepada Allah. Menjalankan kekuasaan dalam sistem pemerintahan yang dicontohkan Nabi Muhammad ﷺ, adalah bentuk loyalitas kita kepada Allah ﷻ dan sekaligus kecintaan kita kepada Rasulullaah ﷺ.
Loyalitas kita kepada Allah akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Siapapun dia, apapun jabatannya, hatta seorang ibu rumah tangga akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kelak di akhirat di hadapan Allah ﷻ.
فَاْلإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Seorang imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang rakyat yang dia urus. (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu dalam Islam, orang-orang yang diberi amanah dan tugas kepemimpinan haruslah mereka yang senantiasa menyadari akan beratnya pertanggungjawaban atas kepemimpinan mereka itu di hadapan Allah ﷻ di akhirat kelak. Kesadaran ini menjadi sangat penting. Sebabnya, jika mereka takut hanya kepada Allah, maka amanah kepemimpinan akan mereka jalankan sebaik mungkin dan tidak mungkin mereka selewengkan. Berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan yang marak terjadi saat ini tidak lain karena para pemangkunya seolah tidak memiliki rasa takut kepada Allah ﷻ akan pertanggungjawaban mereka di hadapan-Nya kelak di akhirat. Padahal Rasulullah ﷺ telah menegaskan:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sungguh kalian akan berambisi terhadap kekuasaan. Padahal kekuasaan itu bisa berubah menjadi penyesalan pada Hari Kiamat kelak (HR Al-Bukhari)
Karena itulah pada masa lalu, sepanjang era Kekhilafahan Islam, tak sedikit yang enggan dipilih dan dibaiat menjadi khalifah. Jika pun pada akhirnya umat atau rakyat tetap memilih dan membaiat mereka sebagai khalifah, mereka amat terbebani dengan beratnya amanah yang mereka emban itu. Mereka pun amat khawatir atas pertanggungjawaban kepemimpinan mereka di akhirat kelak di hadapan Allah ﷻ. Padahal mereka adalah orang-orang yang shalih, adil dan amanah. Di antara mereka bahkan termasuk para sahabat Nabi ﷺ yang terbaik. Mereka pun menjalankan sistem pemerintahan Islam yang berdasarkan akidah Islam dan hanya menerapkan syariah Islam dalam menjalankan pemerintahannya. Namun demikian, mereka tetap amat khawatir. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, dengan penuh rasa khawatir pernah berkata:
لَوْ مَاتَتْ شَاةٌ عَلَى شَطْءِ الْفُرَاتِ ضَائِعَةً لَظَنَنْتُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ سَائِلِيْ عَنْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sungguh, andai ada seekor domba mati dalam keadaan terbuang di tepi Sungai Eufrat (di Irak), aku sangat khawatir bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban diriku atas hal itu pada hari kiamat kelak (Abu Nu’aim al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 1/53)
Sebelumnya, Abu Bakar ash-Shiddiq ra., sesaat setelah dibaiat sebagai khalifah, karena khawatir menyimpang dalam menjalankan pemerintahannya, pernah berkata:
قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَ لَسْتُ بِخَيْرِكُمْ. فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِيْنُوْنِي، وَ إِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُوْنِي
Sungguh aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian. Padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Karena itu jika aku berbuat baik, bantulah aku. Jika aku berbuat salah, luruskanlah aku (Lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 5/248; Ibnu Badis, Âtsar Ibni Bâdîs, 2/401)
Pada era setelahnya, Umar bin Abdul Aziz ra., saat menjadi khalifah, juga pernah berdoa dengan penuh kekhawatiran, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari memikul tugas yang tidak sanggup aku pikul ini, atau aku diserahi urusan ini, lalu aku menyia-nyiakannya.” (Ibn al-Jauzi, Shifat as-Shafwah, 2/92).
Demikianlah, betapa besar kekhawatiran para pemimpin Islam atau para khalifah pada masa lalu atas amanah kepemimpinan dan pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT kelak di akhirat. Tidak aneh jika mereka benar-benar menjalankan amanah kepemimpinan mereka dengan sebaik-baiknya. Tentu agar kekuasaan atau kepemimpinan yang mereka emban di dunia ini tidak berubah menjadi penyesalan di akhirat kelak. Bagaimana dengan para pemimpin saat ini?!