(Katanya) Merdeka!
Oleh Ummu Zhafran, Pegiat literasi
LenSa MediaNews__ Benarkah kita sudah merdeka? Pertanyaan retorik di atas kerap mencuat jelang peringatan hari kemerdekaan seperti sekarang ini. Maklum, bagi sebagian masyarakat kemerdekaan sejatinya belum dirasakan sepenuhnya.
Tak berlebihan pula jika kemudian ada di antara khalayak menilai keadaan saat ini yang katanya sudah merdeka, namun realitasnya beban hidup yang dipikul rakyat semakin berat saja. Tak hanya harus menanggung biaya kebutuhan sendiri tapi juga memikul beban utang negara dalam bentuk pajak dan berbagai pungutan lainnya. Memilukan.
Pun katanya merdeka tapi sekedar info, tercatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 masih sebesar 25,22 juta orang. Mirisnya, hal ini lantas dikaitkan dengan jumlah utang luar negeri yang tembus di angka Rp 8.338,43 triliun. (cnbcindonesia, 10/6/2024) Masih banyak lagi sederet katanya yang tak mungkin dituliskan semua di sini.
Ya, idealnya kemerdekaan memang bukan klaim sepihak. Melainkan sesuatu yang bisa diindra dan dirasakan setiap orang. Alih-alih kesejahteraan dan kemakmuran yang dinikmati rakyat, hanya 2 hal tersebut di atas yang dirasa: derita kemiskinan dan terlilit banyak utang.
Maka layakkah merdeka diklaim sebagai realitas? Jangan sampai klaim tanpa henti lebih dari tiga perempat abad ini baru sebatas mimpi. Di sinilah kepekaan pihak Elit penguasa dapat diuji. Hal yang seolah tidak tampak selama ini, terutama pada rencana gelar peringatan hari kemerdekaan yang akan datang. Bagaimana tidak, acara akan berlangsung di dua tempat, IKN dan Jakarta yang pastinya tak sedikit menelan biaya. Tepat di saat rakyat makin sulit menjalani hidup meski sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Mengutip Kamus Umum Bahasa Indonesia, merdeka artinya; bebas (dari perhambaan, penjajahan); berdiri sendiri (tidak terikat, tidak bergantung pada sesuatu juga lain); lepas (dari tuntutan). Serupa tapi tak sama dengan merdeka menurut pandangan Islam. Dapat kita simak dari pernyataan menarik Rib’i bin Amir, utusan pasukan muslim saat Perang Qaidisiyah. Ketika itu di hadapan Rustum, panglima Persia, Rib’i mengatakan bahwa tujuan kedatangan pasukan muslim adalah untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Rabb-nya manusia.
Perkataan ini, menegaskan bahwa dorongan jihad atau futuhat Islam bukanlah materiel, seperti yang dilakukan negara-negara kapitalis imperialis kolonialis Barat saat mengekspansi Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia di dalamnya.
Ustaz Ismail Yusanto, seorang cendekiawan muslim dalam salah satu ulasannya mengatakan bahwa apa yang dikatakan Rib’i memberi sudut pandang baru bagi Rustum. Sebab sepanjang hidupnya Rustum hanya mengenal bahasa eksploitasi dan penjajahan ketika berperang menaklukkan daerah baru. Tak pernah menduga bahasa tauhid bisa jadi tujuan di balik perang seperti yang diungkap Rib’i.
Padahal inilah kemerdekaan sejati yang dibawa dan diadvokasi oleh Rasulullah saw. sampai akhir hayatnya. Mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah. Membebaskan manusia dari ketaatan dan ketundukan pada selain-Nya.
Secara fisik perjuangan menegakkan kemerdekaan di negeri ini boleh saja usai. Namun bila mau jujur, kondisi secara politik dan ekonomi masih terus mempertontonkan ironi. Kemiskinan dan persoalan lainnya tak kunjung henti mendera sementara beragam solusi tak mampu bikin selesai. Bahkan alam seakan menolak hidup dalam harmoni, ditandai dengan bencana yang susul-menyusul menghampiri.
Maka mari kembali memahami bahwa Islam datang untuk membebaskan manusia dari kesempitan dunia akibat mengikuti aturan buatan manusia menuju kelapangan hidup di bawah naungan syariat dari Allah yang Maha Pencipta. Islam juga datang untuk membebaskan manusia dari kezaliman sistem selain Islam menuju keadilan yang datang dari Allah Yang Mahaadil.
Ada pun caranya sederhana saja. Kembalikan hak penetapan aturan hukum hanya kepada Allah Swt. dan Rasulullah saw. Artinya, syariah diterapkan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan. Tak hanya dalam aspek ibadah salat melainkan juga hingga ke persoalan makanan hingga kenegaraan. Alhasil, kemerdekaan yang hakiki sebagaimana yang dijelaskan Rib’i pada Rustum dapat menjelma nyata. Tak lagi sebatas narasi atau bahkan ilusi. Bagaikan cahaya, gemilangnya peradaban di bawah naungan Islam niscaya berpendar hingga akhir zaman. Mengikuti jejak yang dahulu telah ditorehkan sejak masa Rasulullah saw. di Madinah, kemudian dilanjutkan oleh Khulafaurrasyidin dan para Khalifah setelahnya. Wallahu a’lam.