Asuransi Diwajibkan, Ada Apa Gerangan?
Oleh: Ummu Zhafran, Pegiat Literasi
LenSa MediaNews__ Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Sungguh tepat kiranya menggambarkan kondisi yang menimpa rakyat akhir-akhir ini. Belum lama pasca dipungutnya Tapera, ada kabar kewajiban membayar asuransi khusus kendaraan bermotor akan segera berlaku Januari 2025. (cnbcindonesia, 25/7/2024)
Masih dari laman berita yang sama, pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) mengatakan bahwa saat ini asuransi kendaraan bersifat sukarela. Akan tetapi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) mengatur bahwa asuransi kendaraan dapat menjadi wajib bagi seluruh pemilik kendaraan bermotor Dengan kata lain, hanya tinggal menunggu waktu hal tersebut diberlakukan segera setelah perangkat hukum turunan dari UU dirilis.
Ada pun alasan di balik wajibnya asuransi, nyatanya tak cukup jelas bagi sebagian publik. Sebab hanya disebutkan bahwa praktik seperti ini, telah berlaku di berbagai negara lain. (cnbcindonesia.com, 25/7/2024)
Jika alasan di atas diterima, berisiko menimbulkan persoalan baru. Karena saat asuransi diwajibkan agar sama dengan negara lain, terdapat kesenjangan pendapatan per kapita yang cukup tajam dibandingkan negara-negara lainnya. Sekedar informasi, negara dengan pendapatan tertinggi dunia yaitu Luksemburg, sebesar 143,320 USD. Untuk tingkat ASEAN, Singapura membukukan nominal terbanyak di antara negara lainnya yaitu 54,920 USD. Sementara Indonesia di peringkat keempat ASEAN dengan jumlah 3,870 USD. Sungguh ibarat bumi dan langit bedanya. Ironis.
Untuk itu, menarik apa yang diulas Ustaz Ismail Yusanto, cendekiawan muslim di kanal Youtube-nya. Beliau menyayangkan kecenderungan negara saat ini bertindak jibayah (memalak), bukannya riayah (mengurusi). Dengan kekayaan alam yang begitu berlimpah, tak seharusnya negara membebani rakyat dengan menarik aneka pungutan yang jumlahnya tidak seberapa dibanding hasil pengelolaan kekayaan alam tersebut. Ambil contoh, batu bara. Jika setiap tahunnya berhasil ditambang 600 juta ton dengan potensi keuntungan 900 triliun maka pajak – atau apa pun namanya- yang bisa dipungut hanya sebesar 20 persen yaitu tidak sampai 200 triliun. Bukan tak mungkin 80 persen sisanya lari ke kantong korporat atau oligarki. (uiyofficial, 31/7/2024)
Sudah tentu analisa di atas sukar untuk dibantah. Semakin hari makin nyata saja praktik mazhab ekonomi kapitalis di negeri ini. Memihak kepentingan korporat dan mengabaikan kebutuhan rakyat adalah ciri utama dari mazhab ini. Terlihat dari kebijakan melepas keuntungan hasil kelola sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat (umum) ke oligarki. Lalu demi memenuhi kebutuhan sendiri, rakyat dibebani dengan beraneka pajak dan iuran.
Tak berhenti sampai di situ, karpet merah memang digelar untuk oligarki dengan adanya Undang-undang (UU) Nomor 3/2020 yang mengatur tentang Minerba. Salah satunya terlihat dari ketentuan dalam UU yang menghapus kejahatan korporasi yang melakukan pelanggaran pidana. Andai pun harus ditindak, maka sanksi yang dijatuhkan hanya fokus pada individu atau perorangan bukan badan usahanya.
Seluruh hal menyedihkan bagi rakyat yang tersebut di atas tak harus terjadi bila negara menyadari amanahnya sebagaimana yang digariskan Sang Maha Pencipta, Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari)
Sementara Al-‘Allamah Najîb al-Muthî’i, dalam Takmilah al-Majmû’, Imam an-Nawawi, menegaskan:
“Imâmah, Khilâfah dan Imaratu al-Mu’minîn itu adalah sinonim [kata yang berbeda, dengan konotasi yang sama].”
Maka Islam mewajibkan negara, dalam hal ini Khalifah, untuk mengurusi segenap rakyatnya tanpa membedakan suku, agama maupun ras dengan menerapkan syariah secara menyeluruh. Sebab Islam memang diturunkan sebagai petunjuk atau solusi atas segala sesuatu. Tak luput pula dalam masalah tambang. Syariat mengatur terkait hutan dan barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya sebagai milik umum dan harus dikelola oleh negara.
Hasilnya harus diberikan kembali kepada rakyat dalam bentuk penyediaan kebutuhan pokok yang mudah diakses setiap warga negara termasuk pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan sendirinya barang-barang tambang tersebut tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu maupun swasta.
Dapat dibayangkan jika pengaturan sesuai syariah yang berlaku, maka kesejahteraan yang luas tak lagi sebatas ilusi seperti saat ini. Asuransi, iuran dan yang sejenisnya yang ditarik oleh negara niscaya tak mendapat tempat dalam naungan Islam kecuali jika diperlukan dalam kondisi darurat (kas negara menipis). Yakinlah, Islam rahmatan lil ‘alamin itu nyata, asalkan diterapkan kafah, sesuai konsekuensi iman setiap hamba. Wallahua’lam.