Pembukaan Olimpiade Paris, Kebebasan Tak Selalu Manis

Pembukaan Olimpiade Paris, Kebebasan Tak Selalu Manis

Oleh : Teti Ummu Alif

(Pegiat Literasi)

 

LenSaMediaNews.com – Akhirnya, Penyelenggara Olimpiade Paris 2024 meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi dalam upacara pembukaan pekan lalu. Mereka mengatakan “sangat menyesal” jika ada pelanggaran yang disebabkan oleh upacara pembukaan yang disebutnya “berani dan unik”, seraya menyangkal adanya niat untuk “tidak menghormati agama” (Cnbcindonesia 29/7/2024).

 

Diketahui beberapa kelompok Katolik dan uskup Prancis, mengecam parade pembukaan pesta olahraga dunia itu. Oleh sebab mereka menyebutnya mempertontonkan “adegan ejekan dan olok-olok terhadap agama Kristen”. Kritik difokuskan pada adegan yang melibatkan penari, waria, dan seorang DJ dalam pose yang mengingatkan pada penggambaran Perjamuan Terakhir, yang dilakukan Yesus bersama para rasulnya. 

 

Jika ditelisik, peristiwa ini bukanlah hal yang mengejutkan. Mengingat Prancis merupakan negara sekuler yang menjunjung tinggi kebebasan pada warganya.  Sekularisme negara atau laicite menduduki posisi sentral dalam identitas nasional Prancis dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari moto pascarevolusi, yaitu “liberty, equality, fraternity”. Berdasarkan prinsip laicite ini maka ruang publik, seperti ruang kelas dan tempat kerja, harus bebas dari agama. Negara beralasan, menekan kebebasan berpendapat untuk melindungi perasaan komunitas tertentu akan melemahkan persatuan nasional. 

 

Pada 1905, dikeluarkan undang-undang yang melindungi sekularisme, yang ditujukan untuk melindungi kebebasan warga untuk menjalankan agama. Namun juga, untuk mencegah masuknya agama di institusi-institusi negara. Undang-undang tersebut menopang UU lain yang melindungi hak untuk menistakan agama, yang dikeluarkan pada tahun 1881. Oleh karena itu, tak mengherankan jika warga Prancis kerap kali terdeteksi melakukan penistaan agama tanpa ditindak. Sebab pelakunya dilindungi negara. Sebagaimana majalah Charlie Hebdo yang berulang kali begitu berani membuat karikatur nabi Muhammad Saw. Nahasnya, saat ini penistaan kembali menimpa ajaran agama Kristen. 

 

Inilah wajah peradaban sekularisme yang sebenarnya. Di mana agama dipisahkan dari kehidupan dengan segala bentuk kebebasannya. Sehingga, penistaan agama tumbuh subur bak cendawan di musim penghujan. Mirisnya, paham ini justru diadopsi oleh mayoritas negara di dunia ini. Kehidupan sekuler telah menjadikan agama hanya sebatas ritual semata. Agama tidak lagi menjadi prinsip hidup yang sakral yang harus dijaga dan dihargai.

 

Kehidupan sekuler menjadikan seseorang memiliki pandangan yang berbeda tentang agama. Sebagian mereka tidak lagi menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Ada pula yang berpandangan bahwa orang yang taat beragama itu kolot, primitif, dan tidak maju. Sudut pandang semacam inilah yang memunculkan anggapan bahwa agama tidak lagi penting dan bukan lagi sesuatu yang suci dan harus dihormati. Akibatnya, agama kerap menjadi bahan bercanda, sindiran, olok-olokan, narasi kebencian, hingga penistaan. 

 

Sementara itu, Islam akan menghalangi warga negaranya, baik muslim maupun nonmuslim, untuk mengolok-olok dan menista agama. Bagaimana implementasinya?

 

Pertama, Islam mengajarkan seorang muslim untuk memiliki kepribadian islami (syakhshiyyah Islamiyyah) yang mencakup pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah). Dari sisi pola pikir, seorang muslim harus memiliki keimanan yang sempurna kepada Allah Swt. tanpa keraguan sedikit pun. 

 

Seorang muslim wajib percaya (tsiqah) kepada agamanya 100%, bahwa Islam menjadi pandangan hidup di atas segala kepentingan yang lain. Dari sisi pola sikap, seorang muslim harus memiliki akhlak dan moralitas yang baik terhadap manusia lain (muslim dan nonmuslim) maupun makhluk Allah Swt. yang lain.

 

Kedua, seperti disinggung di atas bahwa Islam mengajarkan toleransi kepada pemeluk agama lain dan tidak menghina agama/kepercayaan lain termasuk penganutnya. Islam mengajarkan kita untuk tidak memaksakan ajaran agama kita kepada orang lain. Di dalam QS Al-Kafirun ayat 6 Allah Swt. berfirman, “bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.”

 

Ketiga, secara sistemis negara Islam akan menciptakan suasana kondusif bagi kerukunan umat beragama di dalam wilayahnya. Negara tetap mendakwahi umat agama lain, tetapi secara damai dan tanpa paksaan. Jika ada warga negara Islam nonmuslim yang mualaf, itu terjadi dengan penuh kesadaran dan keridaan dari individu yang bersangkutan, bukan dengan paksaan.

 

Untuk menjaga akidah warga negara muslim, negara akan memberikan nasihat bagi muslim yang murtad dan akan memberikan sanksi kepadanya. Negara Islam memiliki hukum, untuk membentengi semua agama yang diakui di dalam negara Islam beserta simbolnya, dari pelecehan dan penghinaan dan tindakan kriminalitas. Negara juga akan melengkapi aturan-aturan yang diperlukan. Demikianlah implementasi penjagaan sistem Islam kafah, untuk menjaga akidah dan menghalangi penistaan agama. *** Wallahua’lam bishowwab. 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis