Krisis Marwah Pemerintah di Indonesia

Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd

Pemerhati Media

 

LenSa Media News–Era digital memang memberikan kenyamanan dalam melakukan kegiatan yang mudah dan efisien. Bisa dilakukan secara riil time. Hingga dikatakan unborderless bisa diakses tanpa batas-batas waktu-wilayah. Negeri ini telah melakukan shifting dengan mengalihkan semua sistem pengurusan administrasi ke elektronik (e).

 

Di Indonesia, dalam beberapa instansi ada e-KTP, e-Kinerja. Dalam dunia usaha, menjamur lapak barang atau jasa yang secara online bahkan dengan toko online seperti Shopee, Maxim, dan lain-lain. Masyarakat bahkan lebih menyukai pengurusan administrasi di pemerintahan dan transaksi secara online.

 

Mengingat kondisi dinamika dunia digital yang semakin berkembang, penting bagi pemerintah memberikan perlindungan data. Sebab, kini data digital merupakan new oil, artinya, data pribadi masyarakat ini berharga mahal. Sehingga, keamanan data sangatlah penting.

 

Memang pemerintah sudah ada institusi seperti Kemenkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) dan BSSN (Badan Siber dan Sandi Nasional). Serta, membuat sebuah program yang ada di beberapa wilayah diantaranya yaitu, PDNS (Pusat Data Nasional Sementara) yang ada di Surabaya. Namun, apa daya kedua badan ini belum mampu menjaga data new oil ini dengan baik.

 

Telah terjadi peretasan yang dilakukan oleh hacker kelompok brain chiper dengan ransomware. Dimana peretasan menggunakan trik sebuah link atau pishing sehingga apabila diklik dengan mudah bisa diretas. Selain, telah terjadi keteledoran oknum yang menklik jebakan hacker, ternyata dalam PDNS ini tidak membuat data cadangan dengan tuntas. Dari tiga lokasi PDNS yakni, Serpong, Surabaya dan Batam. Di Batam hanya 2 persen yang mencadangkan data yang ada di PDNS Surabaya. Miris.

 

Cukup mencengangkan, kominfo sudah menghabiskan sekitar 700 miliar untuk pemeliharaan PDNS, faktanya, program keamanan data hanya menggunakan windows defender saja.

 

Di sisi lain, pernyataan kontroversial dari Budi Arie Setiadi dalam rapat kerja dengan komisi I DPR RI, justru menghaturkan syukur sebab yang meretas adalah personal saja dengan modus ekonomi bukan dilakukan oleh negara. Apatah lagi, kelompok hacker tersebut sudah memeras negara dengan meminta tebusan 131 miliar. Selanjutnya, saling lempar tanggung jawab yang dipertontonkan antara BSSN dan Kominfo. Padahal, data rakyat sedang dipertaruhkan. Sangat ironi!

 

Tentu ini sangat mencerminkan krisis amanah. Bahkan, hacker yang sebelumnya pernah menjebol keamanan data di negeri ini seperti Bjorka dan kelompok Brain Chiper ini justru menkritisi pemerintah yang belum bisa membuat sistem keamanan data dan mengungkapkan bahwa pemerintah seharusnya menggunakan tenaga ahli ilmu teknologi yang memumpuni. Kelompok Brain Chiper dalam web gelapnya dengan tegas berpesan “More important than money, only honor” artinya “yang lebih penting dari uang hanyalah kehormatan”.

 

Apabila dievaluasi, kebanggaan shifting dengan digitalisasi nyaris dalam semua lini kehidupan hingga artificial intelligence yang kini banyak diminati ternyata tak sejalan dengan kesiapan negeri ini dalam hal infrastruktur hingga sumber daya manusia. Orientasi pemerintah kini sangat kapitalis sehingga sulit untuk menemukan aparat dari sistem pemerintahan yang benar-benar melayani rakyat.

 

Kebocoran data yang dialami masyarakat telah banyak memberikan kesengsaraan. Banyak yang mengalami penipuan dan kehilangan harta sebab data pribadinya telah disalahgunakan dan dijual bebas. Pemerintah telah gagal dalam menjamin keselamatan rakyat baik data pribadi hingga jiwa rakyat dalam sistem kapitalisme kini. Namun, hal itu tak kunjung disadari oleh pemerintahan yang mementingkan status quo, jabatan dan tentu materi semata.

 

Selain itu, sosok negarawan sulit lahir dari pemimpin yang mendukung sistem kapitalisme dengan jalan demokrasi. Sebab, alam sistem kapitalisme menghendaki segala cara licik untuk menyukseskan sebuah tujuan yang tidak ada kepentingan masyarakat didalamnya yang ada hanya kepentingan segelintir orang (oligarki).

 

Kondisi ini tentu tidak hanya untuk dikutuk saja. Namun, perlunya sebuah revolusi sebab keadaan ini semakin menekan masyarakat dalam keterpurukan. Rakyat hanya menjadi sapi perah dengan membayar pajak. Inilah kerusakan apabila menyerahkan suatu urusan bukan pada ahlinya serta diserahkannya sebuah urusan penting pada orang-orang yang tidak memumpuni (ruwaibidhah).

 

Hal ini sangat berbeda ketika sistem Islam dalam naungan Khilafah. Dalam Khilafah, urusan kepentingan umat, seperti teknologi akan diserahkan pada orang-orang yang memumpuni. Sebab, dalam sistem Islam tidak bagi-bagi kue dalam kementerian. Melainkan berdasar ketakwaan sehingga muncul rasa tanggung jawab terhadap sebuah amanah.

 

Demikian pula dengan hukum dan sanksi yang diberikan kepada pelanggar sangat tegas. Hal ini hanya bisa diterapkan jika kapitalisme dicabut dan syariat Islam diterapkan. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis