BUMN Terlibat Pinjol, Apa Kata Dunia?

Oleh: Ummu Zhafran

(Pegiat Literasi) 

 

LenSaMediaNews.com__Seorang penulis kebangsaan Inggris di abad 18, Benjamin Disraeli pernah menulis, utang adalah induk dari kebodohan dan kejahatan yang produktif. Gara-gara utang, seorang mulia bisa menjelma hina.

 

Andai Disraeli masih hidup dan menyaksikan fakta yang mengagetkan publik, salah satu badan usaha milik negara yang bergerak di sektor kesehatan ketahuan terjerat pinjaman online (pinjol). Entah Disraeli turut kaget atau tidak. Sebab meski melontar pernyataan berutang mengantarkan pada kehinaan, namun mau bagaimana lagi negeri asalnya tetap saja termasuk negara dedengkotnya kapitalisme. Bagi ideologi kapitalisme, tak mengapa bila memiliki utang walau banyaknya selangit berikut dengan bunganya. Tercermin dari banyaknya negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis jadi pelaku, baik sebagai pemberi pinjaman maupun pengutang.

 

Mengutip laman kantor berita Antara, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan Indofarma, perusahaan milik negara yang berbisnis di bidang produksi obat dan alat kesehatan terjerat pinjol yang menimbulkan piutang macet sebesar Rp124,9 miliar (antara.co.id, 20-6-2024).

 

Dari laman yang berbeda, kronologinya dimulai dari kongkalikong antara anak perusahaan Indofarma, PT Indofarma Global Medika dengan rekanan bisnis dalam proyek jual beli alat kesehatan, PT Promedik. IGM menjual alat kesehatan pada Promedik, Promedik tak mampu membayar. Singkat cerita, demi menutupi gagal bayar oleh Promedik, IGM kemudian meminjam uang di luar sistem pembukuan kepada platform pinjol sebesar Rp69,7 miliar. Dananya kemudian ditransfer ke IGM seolah-olah sebagai pembayaran piutang dari Promedik (tempo.co, 21-6-2024).

 

Menanggapi hal di atas, salah seorang anggota DPR-RI dari Komisi VI hanya bisa mengucap istigfar, saat dalam sidang, Direktur Utama Indofarma mengakui bila selama ini perusahaan yang dipimpinnya meminjam pinjol dengan menggunakan nama-nama karyawan (sindonews.com, 21-06-2024). Wajar bila jadi pertanyaan di benak publik, posisi sebagai badan usaha milik negara harusnya telah memiliki alokasi anggaran yang cukup memadai guna menjalankan segala aktivitas. Tetapi mengapa masih merasa perlu pinjol? Seperti belum cukup saja utang negara yang sudah menyentuh angka 405,7 miliar dolar AS (bi.go.id, Januari 2024), hingga pinjol juga diembat.

 

Bicara pinjol, kredit dan yang sejenisnya di era kapitalisme atau neoliberalisme saat ini tentu tak lepas dari bunga atau riba. Sebagai negeri dengan mayoritas penduduk muslim, idealnya tak menafikan haramnya riba. Firman Allah Swt.: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu…” (QS. Al-Baqarah: 279)

 

Dalam tafsir Ibnu Katsir, disebutkan jika ayat ini merupakan ancaman yang keras dan peringatan yang tegas terhadap orang-orang yang masih menetapi perbuatan riba sesudah adanya peringatan.

 

Jika yang melakukan selevel negara dan atau lembaga di bawahnya yang menyertainya, maka tak hanya dosa riba, risiko politis pun mengintai berupa tergadainya kemandirian negara. Sebab bukan rahasia lagi tak ada yang gratis dalam paradigma kapitalis. Utang jadi alat campur tangan dan hegemoni pihak debitur (pemberi pinjaman) terhadap kebijakan kreditur (penerima pinjaman). Dengan kata lain jika utang terus dibiarkan datang dari lembaga pinjol dalam negeri maupun dari luar sama artinya menggelar karpet merah bagi penjajahan gaya baru dan sudah tentu menambah beban bagi negara.

 

Begitulah apabila kapitalisme dibiarkan mengatur negeri. Ujungnya rakyat lagi jadi korban. Mimpi akan hidup sejahtera semakin jauh di awang-awang. Apalagi sistem peradilan di negeri ini sejak lama sudah dipandang skeptis oleh masyarakat. Kerugian demi kerugian negara yang tercatat dari tumpukan kasus korupsi ditambah kasus Indofarma ini nyaris bernasib sama. Entah di mana dan digunakan untuk apa.

 

Sudah selayaknya negara dan umat pada umumnya bersegera meninggalkan riba yang jelas-jelas mengundang murka Sang Pencipta juga menantang perang Allah dan Rasul-Nya. NNauzubillah Islam mengamanahkan negara, yang dipimpin seorang khalifah mutlak sebagai pihak yang menjamin tegaknya syariah secara kafah. Menjaga segenap rakyat dari perkara haram. Jelas riba salah satunya.

 

Negara melalui penerapan ekonomi Islam, salah satunya, akan mendudukkan status kepemilikan. Mana yang boleh dimiliki individu rakyat, dimiliki secara umum dan dimiliki oleh negara. Islam kemudian mewajibkan negara mengelola kepemilikan umum seperti sumber daya alam, air dan tanah. Hasilnya ditujukan semata untuk memenuhi kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan dan keamanan setiap individu rakyat. Negara dalam hal ini khalifah terlarang menjual sumber daya alam milik umum ke pihak swasta atau asing. Otomatis dengan Islam, berjalannya negara dengan seluruh perangkatnya tanpa harus berutang bukanlah mimpi di siang bolong. [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis