Oleh: Sri Sumiyati
Aktivis Muslimah
Lensa Media News–Indonesia diperkirakan akan menghadapi era bonus demografi beberapa tahun ke depan, tepatnya pada tahun 2030 hingga 2040 mendatang.
Bonus demografi yang dimaksud adalah masa di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) jumlahnya akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dengan proporsi lebih dari 60% dari total jumlah penduduk Indonesia (Kominfo.go.id, 27 Juni 2020).
Kondisi ini seharusnya menjadi golden momen bagi Indonesia. Karena pemuda dengan segala kekuatannya baik secara fisik maupun pemikiran, diharapkan akan mampu mengubah keadaan negeri ini menjadi jauh lebih baik.
Para pemuda dengan kekuatan fisik dan pemikirannya juga diharapkan akan mampu menggerakkan roda pembangunan di seluruh aspek yang ada. Memberikan inovasi dan ide-ide brilian yang memacu kemajuan negeri ini.
Namun, bagaimana bila harapan itu seperti jauh panggang dari api? Sebab, jika kita perhatikan pola kehidupan remaja saat ini, harapan itu terasa sangat jauh, bahkan seakan mustahil untuk diraih.
Bagaimana tidak, remaja yang seharusnya disibukkan dengan penempaan diri, dengan ilmu dan adab, justru menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Menurut data BNN saja misalnya, sebanyak 2,2 juta remaja di 13 provinsi di Indonesia menjadi penyalahguna narkoba.
Mirisnya, angka ini terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Juga menurut data tersebut, rentang usia pertama kali menggunakan narkoba adalah 17 sampai 19 tahun (www.its.ac.id, 26/6/2022). Subhanallah!
Data di atas belum termasuk kenakalan remaja dalam bentuk yang lain, misalnya seks bebas, tawuran, menjadi pelaku pembegalan dan kejahatan, kecanduan game online, dan seterusnya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Jika kita cermati, kondisi ini adalah buah dari penerapan peradaban Kapitalisme Liberal yang sekuler, yang melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Mirisnya, infasi budaya serba bebas dan permissif dari Barat ke dalam negeri ini tidak serta-merta terjadi secara alami, namun juga disokong oleh kebijakan pemerintah, diantaranya melalui kurikulum pendidikan.
Asas pendidikan sekuler nyata telah menjauhkan pemuda dari agamanya. Sehingga mereka merasa gamang akan jati dirinya karena lemahnya akidah mereka. Hal ini memudahkan budaya Liberal Sekuler merasuk ke dalam jiwa mereka.
Keadaan seperti ini tentu tak boleh dibiarkan. Karena golden momen justru menjelma menjadi beban momen jika kita tak melakukan upaya.
Sebagai muslim, tentu kita wajib mengambil Islam sebagai solusi, termasuk dalam menyelesaikan problem yang menerpa generasi muda kita. Islam mengajarkan pentingnya pendidikan berdasarkan akidah dalam rangka mewujudkan pemuda yang mempunyai jati diri Islam, bersyakhsiyah Islam, serta peduli terhadap permasalahan yang dihadapi negerinya.
Dengan pendidikan Islam yang mantap, mereka akan berpikir dan beramal sesuai Islam, melakukan segala perbuatan dan menyikapi setiap hal yang terjadi di dunia ini dengan standar Islam.
Sejarah membuktikan, bahwa pemuda yang lahir dari rahim pendidikan berbasis akidah Islam menjadi manusia-manusia unggul, tangguh, pengubah peradaban. Kita mengenal Ibnu Sina, Bapak Kedokteran dunia, Al Khowarizmi, ahli matematika yang luar biasa, dan ilmuwan hebat lainnya. Kita juga mengenal Muhammad Al Fatih, pemuda luar biasa penakluk Konstantinopel. Mereka semua lahir dari peradaban Islam yang cemerlang.
Jadi, bila kita ingin melahirkan pemuda motor penggerak perubahan, maka kembalikan dasar pendidikan dan kehidupan kita kepada Islam. Sebab Islam bukan semata agama ruhiyah, namun juga ideologi yang layak diterapkan dalam kehidupan, ideologi yang sempurna karena berasal dari Dzat Yang Maha Sempurna. Wallahualam bissawab.[LM/ry]