Prank Pesanan Takjil, Salah Siapa?
Oleh: Hanif Eka Meiana
(Aktivis Muslimah Soloraya)
LenSaMediaNews.com__Kekecewaan menghinggapi Supodo pemilik katering Adila, asal Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo. Ia ditipu oleh menantunya bernama Eko. Akibatnya, Supodo terlilit utang dan merugi ratusan juta rupiah. Kejadian bermula saat menantunya mengaku mendapatkan pesanan makanan menu buka puasa di Masjid Raya Sheikh Zayed Solo. Jumlahnya yang banyak, membuatnya senang pada awalnya hingga tidak memperjelas akadnya. (detik.com, 19/04/2024)
Supodo mengaku ia mendapat orderan setiap hari 800 paket, dibagi dua antara anaknya Adila, dan katering Vio asal Baki. Setiap porsi makanan harganya Rp25 ribu, dan takjil Rp15 ribu lalu dikirim ke Masjid Zayed Solo untuk menu buka puasa. Makanan itu juga diterima oleh petugas. Setiap minggu diminta mengirimkan nota.
Namun, sejak minggu pertama, tak ada yang dibayarkan ke kedua usaha katering itu. Ia langsung percaya karena melihat menantunya sering keluar masuk masjid dan seperti ada kerja sama, walau sebenarnya ia tak tahu hubungan Eko dengan pengurus masjid. Karena kehabisan modal, Supodo akhirnya mengambil pinjaman dari pasar dan tetangganya.
Apa yang terjadi pada berita di atas sempat menggegerkan warga Soloraya. Ada yang kecewa terhadap Eko, ada juga yang prihatin terhadap Supodo, dan ada pula yang berharap pemerintah setempat membatu penyelesaian kasus tersebut. Banyak yang tercengang, mengapa bisa sampai terjadi yang demikian. Tidak adakah kroscek sebelumnya, sehingga pengusaha kedua katering tersebut merugi ratusan juta rupiah.
Inilah realitas yang terjadi dalam sistem yang tidak berlandaskan Islam. Orang bebas melakukan apa saja sekehendaknya tanpa memperdulikan orang lain, juga tidak mempertimbangkan resiko yang akan terjadi. Sistem kapitalisme-sekuler yang menjunjung tinggi kebebasan menghendaki segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan manusia, sehingga agama tidak boleh turut campur dalam pengaturan kehidupan manusia.
Dalam sistem ini persoalan transaksi maupun akad dengan pihak lain seringkali tidak memiliki kejelasan dan tak ada syarat-syarat sah yang harus dipatuhi. Hanya berlandaskan kepercayaan antara kedua belah pihak. Di dalamnya tak mengenal tabayyun, saling rida, serta halal haram. Asalkan dapat memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya maka batas-batas syariat pun dapat dilanggar.
Minimnya pemahaman umat terkait muamalah, tidak menjadikan Islam sebagai pedoman, serta kurangnya kesadaran mereka untuk berhukum pada hukum Allah menjadi faktor rusaknya kehidupan dalam masyarakat, sehingga menimbulkan banyak problem-problem dalam kehidupan. Solusi parsial ala kapitalisme pun tak mampu menuntaskan berbagai masalah yang terjadi. Kesadaran bahwa setiap perbuatan akan ada hisabnya juga lenyap dalam benak umat hari ini.
Berbeda halnya dengan Islam, di dalamnya diajarkan bagaimana seorang muslim melakukan muamalah dengan sesamanya. Harus ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi agar akadnya sah, saling menguntungkan bagi kedua belah pihak, dan mencapai keberkahan. Dalam hal muamalah, rukun dan syarat akadnya terdiri dari subjek akad, objek akad, tujuan, dan ijab kabul. Jika salah satunya tidak ada maka akadnya menjadi tidak sah.
Subjek akad adalah dua pihak yang berakad. Terkait kasus di atas yang ada hanya dari pihak katering saja, sedangkan pihak pemesan tidak ada kejelasan sama sekali. Begitu pula halnya dengan ijab kabul. Ketidakjelasan (gharar) inilah yang dilarang di dalam Islam, karena dapat merugikan pihak lain, juga dapat mengakibatkan salah satu pihak merasa tertipu.
Dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 29 disebutkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Islam juga mengajarkan tentang tabayyun. Mengutip dari kalsel.kemenag.go.id, tabayyun adalah meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak secara tergesa-gesa dalam memutuskan suatu permasalahan. Baik dalam perkara hukum, kebijakan, dan sebagainya, sampai jelas benar permasalahannya. Sehingga, tidak ada pihak yang merasa terzalimi atau tersakiti, dan terhindar dari perpecahan antar sesama manusia.
Maka terkait kasus ini, setidaknya kita dapat melihat secara mendalam bahwa bukan hanya pihak korban -yang awam akan muamalah dalam Islam- atau pelaku – yang telah menipu-, tetapi juga karena sistem. Di mana sistem inilah yang berperan besar membentuk individu-individu yang jauh dari pemahaman yang benar. Masyarakat pun jauh dari nilai-nilai Islam sehingga membentuk budaya prank atau terbiasa merugikan orang lain. Serta, negara yang tidak menegakkan hukum-hukum Allah.
Wallahu a’lam. [LM/Ss]