Pornografi Terus Menghantui, Sakitnya Tak Terperi
Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd
Lensa Media News–Kasus pornografi masih saja menghantui. Rata-rata usia anak-anak yang menjadi korban aksi pornografi secara online itu dimulai dari 12 hingga 14 tahun. Namun ada juga anak PAUD dan kelompok disabilitas.
Tindakan asusila tersebut berdasarkan data National Center for Missing and Exploited Children atau NCMEC ada sebanyak 5.566.015 konten pornografi yang melibatkan anak-anak Indonesia. Jumlah tersebut membuat Indonesia masuk ke peringkat keempat secara internasional. Peringkat yang tidak diinginkan.
Bagaimana tidak, anak-anak yang seharusnya mendapatkan kehidupan yang bersih justru menjadi korban kebejatan seksualitas. Kondisi seperti ini bisa terjadi karena sistem kehidupan manusia saat ini juga tidak bersih. Pemahaman masyarakat digiring untuk mencari kepuasan jasadiah dan kesenangan sesaat. Kepuasan seperti ini dijadikan tolak ukur kebahagiaan.
Karena itu, tidak heran jika masyarakat saat ini tidak takut dengan dosa dan tidak peduli dengan pahala. Alhasil perilaku bejat seperti pornografi menjadi konsumsi semua kalangan dan pastinya nanti akan disasar sebagai korban. Seperti inilah hasil dari penerapan sistem demokrasi sekulerisme.
Di sisi lain, sistem kapitalisme justru menjadikan produksi pornografi termasuk shadow ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari data yang ditayangkan oleh tribratanews.polri.go.id pada September 2023 bahwa hasil penjualan film porno cukup menggiurkan. Rumah produksi film porno bisa meraup keuntungan hingga Rp500 juta per tahun. Jadi selama ada permintaan pornografi, pasti akan dibiarkan bahkan dipelihara.
Penerapan sistem batil demokrasi sekulerisme kapitalisme terbukti tidak mampu menciptakan lingkungan yang mendukung. Agar kejahatan termasuk kejahatan seksual tidak merajalela di masyarakat, terlebih aturan yang diberikan pemerintah tidak menyentuh akar persoalan dan sistem sanksinya juga tidak menjerakan.
Sesungguhnya tidak ada sistem di dunia ini yang mampu menjaga generasi dari kejahatan pornografi kecuali sistem Islam yang diterapkan secara kafah oleh negara Khilafah.
Islam memandang pornografi adalah kemaksiatan. Sebab dari pornografi ini akan menciptakan kemaksiatan-kemaksiatan baru seperti membuka aurat, perbuatan tidak senonoh, bahkan berzina dan hal keji lainnya.
Konten seperti ini jelas merusak kebersihan dan kesucian akal manusia. Tidak hanya itu, konten pornografi menjadi pemicu bangkitnya gharizah nau’ atau naluri melestarikan keturunan pada manusia.
Akhirnya pemikiran masyarakat menjadi rendah karena hanya memikirkan hal-hal yang bersifat seksualitas. Karena itu, kejahatan ini harus dihentikan dalam Islam. Negara tidak akan tinggal diam dan membiarkan pornografi menjadi industri bahkan menjadi shadow ekonomi seperti saat ini. Khilafah berupaya mengatasi masalah ini hingga ke akarnya.
Pertama, Khilafah akan menjaga kesucian dan kebersihan interaksi masyarakatnya dengan menerapkan sistem pergaulan Islam syariat pergaulan menjelaskan bahwa kehidupan publik untuk interaksi taawun dan amar makruf nahi mungkar antar sesama, sementara kehidupan domestik untuk interaksi kehidupan keluarga.
Ketika sistem pergaulan Islam digunakan sebagai mafahim atau pemahaman dan tolok ukur perbuatan maka masyarakat akan memahami batasan interaksi laki-laki dan perempuan di kehidupan publik dan domestik. Konsep ini akan menutup celah bagi para pelaku pornografi untuk untuk melakukan aksinya karena mereka akan merasa malu sendiri dengan kemaksiatan yang mereka lakukan.
Kedua, media dalam Khilafah tidak akan menayangkan konten-konten yang rusak dan merusak masyarakat. Media hanya boleh menayangkan konten-konten yang mengedukasi masyarakat terkait syariat Islam, meningkatkan taraf berpikir masyarakat, dan menunjukkan kewibawaan Khilafah di dunia internasional. Dengan ketegasan demikian, masyarakat Khilafah akan senantiasa mengkonsumsi informasi yang benar.
Ketiga, Khilafah akan membentuk masyarakat memiliki kepribadian Islam dengan menerapkan sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan yang akan membentuk generasi memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai dengan syariat Islam sehingga masyarakat secara sadar meninggalkan kemaksiatan termasuk pornografi.
Keempat, penerapan sistem ekonomi Islam yang akan menjamin kesejahteraan dan kebutuhan dasar publik. Dengan begitu, industri maksiat seperti pornografi tidak akan berkembang. Jangankan berkembang, munculnya saja tidak boleh.
Kelima, Khilafah akan menerapkan sistem sanksi Islam bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Penerapan sistem sanksi Islam akan memberikan efek jera bagi pelaku, bahkan mampu menjadi upaya preventif di tengah-tengah masyarakat.
Beberapa mekanisme ini akan menutup celah perbuatan pornografi di tengah-tengah masyarakat. Di dalam Daulah Khilafah, anak-anak akan tumbuh di lingkungan masyarakat yang bersih akalnya, jiwanya, serta kebiasaannya, sehingga mereka tidak akan menjadi korban atau pelaku pornografi seperti saat ini. Wallahualam bissawab. [LM/ry].