Pajak THR, Mendadak Pakai TER?

 


Oleh: Ummu Zhafran

(Pegiat Literasi)

 

LenSa MediaNews__Seperti tahun-tahun sebelumnya, THR (Tunjangan Hari Raya) dikabarkan cair jelang lebaran. Sudah tentu hal ini disambut gembira sebab apa pun alasannya, THR memang sudah jadi hak warga negara khususnya para pekerja. Tapi ada yang beda kali ini. Publik dikagetkan dengan skema baru pajak atas THR berdasarkan hitung-hitungan TER (Tarif Efektif Rata-rata).

 

Mengacu pada ketentuan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penghitungan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 pada bulan diterimanya THR dihitung berdasarkan skema tarif efektif rata-rata (TER). TER terbagi atas Tarif Efektif Bulanan dan Tarif Efektif Harian. (tirto.id, 28-3-2024)

 

Sederhananya, jika dengan metode penghitungan PPh pasal 21 sebelum TER, hitungan pajak dilakukan dua kali. Masing-masing dihitung dengan PPh 21 atas gaji dan untuk THR. Lain halnya ketika menggunakan hitungan TER. Pemberi kerja diminta menjumlahkan gaji dan THR untuk kemudian dikalikan tarif sesuai tabel TER.

 

Konsekuensinya, jumlah PPh pasal 21 yang dipotong jelas lebih besar. Tak lain karena jumlah penghasilan yang diterima lebih besar, yaitu gaji ditambah dengan THR. Wajar bila kemudian publik resah. Apalagi perhitungan menurut TER ini diberlakukan atas pegawai non ASN. Terbayang berapa nominal yang tersisa setelah dipotong pajak. Amboi.

 

Harus diakui pajak adakalanya mampu tampil sebagai ‘dewa’ penyelamat ekonomi negara. Di saat negara krisis, entah disebabkan faktor alami seperti bencana alam maupun faktor buatan seperti transisi politik, menarik dana segar dari rakyat bisa jadi andalan. Entah apakah rencana kenaikan PPN dari 11 persen jadi 12 persen di tahun 2025, bisa jadi salah satu buktinya. (cnbcindonesia, 8-3-2024).

Hanya saja jika di satu sisi, pajak jadi tumpuan namun di saat bersamaan kekayaan sumber daya alam jadi bancakan, lalu di mana rasa keadilan?

 

Bancakan di sini artinya dijual ke pihak swasta atau oligarki lalu hasilnya dinikmati bersama antara oknum pejabat dan oligarki tersebut. Tak perlu jauh mengambil contoh, kasus korupsi 271 triliun pastinya masih segar dalam ingatan. Menyedihkan bukan? Namun apa daya dalam pandangan negara yang menerapkan kapitalisme hal itu justru sebuah keniscayaan. Terlihat dari dijadikannya pajak jadi sumber utama penerimaan bagi kas negara. Karena hal itu memang lazim dalam kapitalisme yang melepaskan campur tangan negara dari pengurusan rakyat. Bukan hanya di negeri ini melainkan juga semua negara-negara di dunia. (wikipedia)

 

Padahal ditelisik lebih jauh, kebijakan di atas cacat logika. Karena risikonya fungsi negara sebagai pelayan bagi rakyat lambat laun terabaikan, sebaliknya yang berkembang justru relasi negara dan rakyat yang bagaikan penjual dan pembeli. Tentu saja dalam konteks jual beli, mustahil penjual mau merugi.

 

Malang nian nasib rakyat dalam naungan kapitalisme. Bak peribahasa, habis manis sepah dibuang. Manis saat suaranya dibutuhkan, berubah mengalami pahit pasca pemilihan. Sangat jauh berbeda dengan Islam yang tak mengurusi kepentingan selain semata-mata untuk kemaslahatan rakyat.

Rasulullah saw. bersabda,

Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari)

 

Oleh karenanya dalam Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan utama. Pajak merupakan pintu keluar paling akhir ketika tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan negara dalam hal ini Khalifah, untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi. Karena prinsip yang dipegang dalam menarik sebagaimana yang diajarkan Islam adalah untuk membantu kehidupan rakyat, bukan malah memberatkan.

 

Bisa dilihat dari mekanisme pemungutannya, maka pajak diterapkan hanya pada mereka yang dinilai mampu. Itu pun berlaku ketika negara mengalami kondisi darurat sehingga kehabisan kas negara seperti terjadi paceklik, bencana alam, dan sebagainya. Setelah kondisi tersebut dipastikan dapat teratasi dengan baik, pajak pun tidak lagi diberlakukan.

 

Sejarah mencatat, di era pemerintahan Khalifah Umar bin Khatab ra., pernah memungut pajak. Saat itu umat muslim mengalami masa paceklik yang cukup panjang, hingga negara mengalami kekosongan kas karena digunakan untuk membantu rakyat. Sementara pengelolaan negara harus berjalan terus, maka pajak pun ditarik sesuai syarat dan ketentuan di atas.

 

Demikianlah, Islam mewajibkan negara menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi rakyatnya, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan dalam bingkai penerapan syariah secara kafah. Hal yang kemudian disambut para penguasa sepanjang masa kekuasaan Islam sebagai amanah yang berat hisabnya di akhirat. Maka alih-alih terpikir untuk memungut pajak, yang terjadi negara seperti berlomba mewujudkan kesejahteraan rakyat secara merata di penjuru negeri.

 

Salah seorang sejarawan Barat. Will Durrant, dalam bukunya Story of Civilization menuliskan bahwa para Khalifah telah memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Wallahualam bishshawab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis