Menelisik Tantangan dan Peluang Dakwah Pasca Pilpres 2024

Oleh: Ulfah Sari Sakti,S.Pi

Jurnalis Muslimah Kendari

 

Lensa Media News–Pesta Demokrasi Pemilihan Presiden baru saja usai, sebagaimana prediksi pengamat politik dan lembaga survey bahwa pasangan Capres-Cawapres usungan pemerintahan saat ini pemenang kontestasi.

 

Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum menginginkan perubahan. Lantas bagaimana tantangan dan peluang perjalanan dakwah yang selama ini keras mengkritik kebijakan rezim ?

 

Dilansir dari kompas.com (22/2/2024), Berdasarkan hasil hitung cepat semua lembaga survey, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming meraih suara diatas 50 persen. Itu berarti mereka menang mutlak dan Pemilu hanya berlangsung satu putaran.

 

Kemenangan Prabowo-Gibran menegaskan harapan sebagian orang , terutama kelas menengah dan kaum pro demokrasi, yang tidak menghendaki perubahan.

 

Adanya faktor Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kemenangan pasangan ini tidak dapat dipungkiri. Faktor lain yang menyumbang kemenangan Prabowo-Gibran adalah absennya oposisi selama satu dekade pemerintahan Jokowi, membuat hampir semua kebijakan Jokowi lolos tanpa perlawanan mulai dari revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, KUHP, UU IKN dan lain-lain. Walhasil tidak ada narasi pembanding atas kebijakan-kebijakan tersebut.

 

Berdampak Manfaat atau Kerugian ? 

 

Pilpres setiap 5 tahun sekali faktanya belum mampu membawa perubahan signifikan bagi kesejahteraan masyarakat, bahkan demokrasi tahun 2024 mengalami kemunduran karena presiden saat ini “mendorong” puteranya untuk kembali mengeksiskan kekuasaannya, dan minimnya oposisi.

 

Selama 2019 hingga 2022, Amnesty mencatat terdapat setidaknya 328 kasus serangan fisik dan/atau digital dengan setidaknya 834 korban. Korbannya mencakup pembelaan HAM, aktivis jurnalis, pembelaan lingkungan, mahasiswa dan demonstran (BBC.Com/6/2/2024).

 

Pada rezim saat ini, kelompok agama dan pengemban dakwah pun tak luput dari kedzaliman. Ada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dicabut badan hiukumnya karena dituduh ingin merubah indiologi dan dasar negara.

 

Padahal HTI adalah organisasi dakwah yang sah, tidak bertentangan dengan Pancasila dan anti kekerasan. Bahkan anggota eks HTI pun dikriminalisasi atau dipersekusi dalam berbagai bentuk misalnya teror terhadap keluarga dan larangan untuk mengisi ceramah di masjid.

 

Dari sisi ekonomi, pasca Pilpres 2024, terjadi lonjakan harga bahan pokok, utamanya beras karena cuaca buruk. Kenaikan harganya mencapai Rp 1 juta per 50 kg.

 

Alasan pemerintah tidak meyakinkan masyarakat, karena masyarakat jelas-jelas melihat bahwa bantuan sosial (Bansos) turut andil dalam kenaikan harga beras ini. Apalagi mirisnya, kenaikan harga beras tidak berbanding lurus dengan keuntungan yang diperoleh petani melainkan para broker (penghubung) yang merupakan kaki tangan oligarki.

 

Disisi lain, menurut Pengamat Ekonomi, Julian, saat Pilpres 2024 telah terjadi perputaran uang yang besar sekitar Rp 100-200 Triliun. Khususnya untuk Pilpres putaran 1 telah terjadi perputaran uang sebesar Rp 67-68 Triliun. Sudah menjadi rahasia umum jika uang-uang tersebut bukan hanya untuk kebutuhan kampanye, tetapi juga serangan fajar.

 

Julian menuturkan, sebenarnya sebelum Pilpres, ekonomi makro Indonesia sudah rapuh ditambah dengan defisit APBN Rp 2,2 persen, atau sekitar Rp 522 Triliun. Langkah penangan defisit APBN tidak lain dengan pencabutan subsidi serta menaikan pajak. Dan semakin parah jika kebijakan makan siang dan susu gratis diadakan.

 

Tantangan dan Peluang Dakwah Pasca Pilpres 2024

 

Pemilu dalam konteks demokrasi tidak pernah didesign untuk perubahan masyarakat, tetapi untuk keuntungan elite. Jelas kondisi umat tidak baik-baik saja. Akar masalahnya yaitu penerapan sistem Demokrasi-Kapitalis-Sekuler. Prinsip pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat hanya sekedar slogan saja. Yang ada adalah persekongkolan pemerintah dan pengusaha (lingkaran setan).

 

Karena itu tantangan dakwah kedepannya tidak berubah, meskipun rezim berganti. Untuk itu peluang dakwah butuh orang dan sistem yang baik, yaitu para negarawan/politisi idiologis yang dapat meriayah masyarakat, serta sistem yang baik yaitu sistem yang berasal dari zat yang Maha Kuasa yaitu Islam.

 

Para pengemban dakwah harus mengingatkan masyarakat bahwa pasca Pilpres cengkeraman oligarki semakin kuat. Karena itu masyarakat harus mengawal setiap kebijakan pemerintah. Masyarakat tidak boleh lagi menjadi objek kapitalis, dengan berharap bahwa Pemilu semisal Pilpres dapat menjadi ajang perubahan.

 

Mengingatkan masyarakat bahwa perubahan yang akan dilakukan yaitu perubahan mindset bahwa tidak hanya perlu mengganti oknum pemimpin, tetapi juga sistem.

 

Yang terpenting para pengemban dakwah berdakwah dengan cerdas, sabar dan tekun. Berdakwah kepada masyarakat dengan cerdas dan tidak emosional, karena dapat berdampak pada tindakan hukum. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis