Hidup Sempit Akibat Kegagalan Sistem
Oleh : Hanif Eka Meiana
(Aktivis Muslimah Soloraya)
Lensa Media News – Marah, jengkel dan geram melihat tingkah para pelaku kejahatan di masa sekarang ini. Kasus-kasus pencurian seringkali muncul dan menghiasi media massa. Motif pelaku pun beragam namun kesemuanya lebih banyak mengarah pada tuntutan kebutuhan ekonomi. Seperti halnya yang terjadi pada seorang perangkat Desa Tlogorandu, Kecamatan Juwiring, Klaten, H, 48, yang ditangkap polisi karena terlibat pencurian kosen dan daun pintu milik tetangganya mengaku alasannya mencuri karena terdesak kebutuhan ekonomi. (solopos, 17/3/2024)
Kapolsek Juwiring, Klaten, AKP Sumardi, membenarkan kasus pencurian oleh perangkat desa tersebut. Dia mengungkap alasan H ikut terlibat dalam pencurian tersebut. “Dia [H] beralasan ikut terlibat dalam kasus itu karena biaya hidup cukup tinggi dan banyak utang,” kata Kapolsek saat dihubungi Solopos.com, Minggu (17/3/2024). Akibat kejadian itu, korban mengalami kerugian sekitar Rp12 juta.
Hal senada juga seringkali kita temui pada masyarakat dewasa ini. Banyak diantara mereka yang gelap mata akibat desakan ekonomi lalu melakukan kasus pencurian tanpa terpikir resiko yang akan dihadapi. Kehidupan yang serba modern membawa manusia ke arah kemajuan teknologi tanpa dibarengi dengan perbaikan akhlak ditengah-tengah masyarakat. Mengapa bisa demikian?
Peradaban manusia yang serba bebas juga didukung dengan peraturan negara menjadikan masyarakat memiliki keleluasaan dalam menjalani kehidupannya. Berbagai pemikiran barat dan budaya asing pun masuk merasuki tubuh kaum muslim tanpa mampu mereka filter. Jauhnya umat dari berpikir benar tentang kehidupan serta merta membawa mereka kepada kehidupan yang kian hari semakin sempit. Semua ini ialah dampak dari diterapkannya sistem yang menghamba pada makhluk. Sistem yang kapitalisme sekuler yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan.
Sistem ini menjadikan ukuran kebahagiaan adalah dengan memperoleh sebanyak-banyaknya materi atau dengan kata lain pemuasan kebutuhan fisik. Dampaknya bila pemenuhan ini dibiarkan bebas akan membentuk manusia yang kata Ustadz Dwi Condro menjadi manusia jadi-jadian. Manusia yang menjadikan hawa nafsunya sebagai pemimpin dalam berfikir dan bertindak. Ia akan senantiasa menghalalkan berbagai cara agar keinginannya dapat terpenuhi tanpa memandang benar atau tidak dalam syariat.
Ciri khas ini yang kita lihat saat ini, manusia semakin tamak dan rakus terhadap benda, popularitas, harta, jabatan, seks maupun hal-hal keduniawian lainnya. Salah satu faktanya muncul para oligarki yang menguasai hajat hidup masyarakat. Mereka mengeruk sumberdaya alam dan beberapa pelayanan publik yang seharusnya bisa digunakan untuk mensejahterakan masyarakat. Akibatnya muncul kapitalisasi aset, tuntutan kehidupan semakin tinggi, penimbunan, suap, korupsi, rakyat semakin melarat, pengangguran hingga kasus-kasus kejahatan. Disaat yang sama pemerintah abai mengurusi rakyatnya bahkan menjalin hubungan mesra dengan para oligarki.
Apa yang dilakukan oleh perangkat desa diatas merupakan hasil daripada pembentukan sistem. Ia beralasan karena tuntutan kehidupan yang tinggi dan memiliki hutang. Gaya hidup bebas diadopsi seperti seks bebas, narkoba, judi, riba, childfree, dan lain sebagainya. Apa yang tren saat ini menuntut generasi untuk ikut dalam arus gaya hidup liberal. Kapitalisme telah menihilkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Sehingga akan didapatkan individu yang lemah iman, individualis, materialistis, hedonis, dan pragmatis.
Berbeda jika Islam menjadi way of life. Kesempurnaan aturan di dalam Islam mampu mewujudkan kehidupan yang penuh dengan kemuliaan, keberkahan dan ketentraman bagi umat manusia. Terbukti pada masa kejayaan Islam kebutuhan dasar masyarakat terjamin sehingga masyarakat tidak khawatir akan masalah ekonomi baik dirinya maupun yang lainnya. Akses pendidikan dan kesehatan pun gratis disediakan oleh negara.
Penerapan sanksi dalam Islam mampu mencegah maraknya tindak kriminal. Ketakwaan individu, kontrol dari masyarakat dan penegakan hukum syariat oleh negara mampu mencegah upaya-upaya yang mengarah pada pelanggaran syariat. Pemimpin dan pejabat dibawahnya sadar betul akan amanah yang diemban merupakan sesuatu yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban dan berupaya untuk sebaik mungkin melayani masyarakat sesuai yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya.
Kesempitan hidup tidak akan kita dapatkan dalam sistem Islam karena ukuran kebahagiaan bukanlah terletak pada harta, jabatan, popularitas, maupun yang bersifat keduniawian lainnya melainkan bagaimana meraih ridho Allah SWT. Selama ada Allah SWT dalam hatinya, seorang muslim akan yakin dan bersemangat menjalani kehidupannya.
Oleh karena itu, maka sudah selayaknya umat Islam kembali menjadikan aturan Islam sebagai pedoman kehidupan baik dalam ranah individu, masyarakat maupun negara. Insyaallah kemuliaan Islam akan kembali diraih serta keberkahan dan rahmat Allah SWT senantiasa didapatkan.
[LM/nr]