Jaminan Halal, Jangan Dikomersilkan

Jaminan Halal, Jangan Dikomersilkan

Oleh : Eva Hana

(Pendidik Generasi) 

 

LenSaMediaNews.com – Kembali digulirkan peringatan wajib bersertifikat halal bagi seluruh pelaku usaha baik makanan atau minuman, termasuk berlaku juga untuk seluruh Pedagang Kaki Lima (PKL). Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag Muhammad Aqil Irham yang mengungkapkan, ada tiga kelompok produk yang harus bersertifikat halal, pada masa penerapan pertama aturan yang berakhir 17 Oktober 2024 (kompas. com). Tiga kelompok tersebut diantaranya : (1) pedagang produk makanan dan minuman ; (2) pedagang bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman; (3) pedagang produk hasil sembelihan dan pemilik jasa penyembelihan. 

 

Jika tidak memiliki sertifikat halal, pelaku usaha akan dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis, denda administratif hingga penarikan dari peredaran. Sanksi tersebut tertuang pada PP No 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Konsumsi produk halal menjadi bagian yang tidak boleh dilupakan oleh setiap individu muslim. Rasulullah saw. bersabda,

Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi setiap muslim.” ( H. R. Al-Thabarani dan Ibnu Mas’ud). 

 

Maka sudah menjadi keharusan bagi Pemerintah untuk menjamin setiap barang konsumsi yang beredar adalah barang yang halal. Sehingga kebijakan mewajibkan pelaku usaha dalam memperoleh sertifikat halal ini perlu diikuti dengan kemudahan regulasi dan jika diperlukan biaya, maka biaya yang dipatok harus murah serta tidak memberatkan pelaku usaha. 

 

Namun faktanya tidaklah demikian. Terdapat unsur komersialisasi jaminan halal yang cukup menyulitkan pelaku usaha, terutama UMKM kecil atau PKL (Pedagang Kaki Lima). 

Dikutip dari laman liputan6.com (2/2/24), terdapat biaya administrasi pembuatan sertifikat halal dari mulai  Rp 300.000 untuk Usaha Mikro atau kecil hingga Rp 12.500.000 untuk usaha besar atau dari luar negeri. Belum lagi ditambah biaya pemeriksaan kehalalan produk UMK oleh LPH maksimal sebesar Rp. 350 ribu, dan jika sertifikat kadaluwarsa, maka pembaruan atau perpanjangan masa berlaku sertifikat akan menambah biaya lagi. 

 

Wajarlah saja jika kebijakan tersebut dikeluhkan oleh banyak PKL. Sebab mengurus sertifikat halal akan menambah beban keuangan mereka. Omset yang didapat tidaklah seberapa, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

 

Meskipun sebelumnya, BPJPH sudah menyediakan kuota 1 juta sertifikat halal gratis sepanjang 2023 bagi pelaku usaha. Namun, jumlah tersebut sangat tidak sebanding dengan jumlah pedagang kaki lika yang mencapai 22,7 juta dan tersebar di seluruh Indonesia.

 

Sungguh ironi, kewajiban negara dalam memberikan jaminan halal dipandang sebagai manfaat penghasil pundi-pundi keuntungan. Beginilah jika pelayanan terhadap urusan rakyat menggunakan cara pandang kapitalisme. Jaminan negara seperti jaminan kesehatan melalui BPJS, jaminan halal atau pendidikan yang seharusnya didapatkan rakyat secara cuma-cuma, negara justru memilih bertransaksi dengan rakyatnya sendiri.

 

Hubungan rakyat dengan penguasa layaknya penjual dan pembeli. Tidak ada makan siang gratis, jika gratis maka terimalah ala kadarnya. Wajarlah saja jika Negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai pelayan dan pengurus urusan rakyat.

 

Jauh berbeda dengan Islam. Dalam pandangan Islam, fungsi negara adalah pelayan dan pengurus urusan rakyat. Menjamin dengan memberi kemudahan dalam memenuhi kebutuhan asasi rakyatnya. 

Termasuk jaminan sehat dan halal disetiap produk adalah kebutuhan rakyat yang harus dipastikan secara ketat, melalui serangkaian uji produk secara gratis dan pengawasan secara berkala. Jika ada ketentuan dan persyaratan yang membutuhkan biaya, negara akan memberikan kemudahan administrasi yang cepat dan murah.

 

Negara dengan sistem Islam tidak akan sulit memenuhi kebutuhan rakyatnya, sehingga tidak akan ditemukan kasus pemalakan atau memasang  aneka pajak atau tarif yang membebani rakyatnya. 

Negara dalam sistem Islam menerapkan konsep Baitul mal yang terdapat bagian-bagian pemasukan sesuai dengan jenis hartanya. Seperti harta fa’i dan kharaj, kepemilikan umum meliputi minyak, gas bumi, listrik dll, serta sedekah yang disusun berdasarkan jenis harta zakat yang dibuat tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya. Semua pemasukan negara tersebut akan dikelola sesuai koridor syari’at agar dapat memberikan jaminan bagi setiap individu rakyat. 

Wallahu’alam bishawwab.

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis