Kontestasi Gagal, Caleg Terkena Gangguan Mental

Oleh: Sri Gita Wahyuti A.Md
(Aktivis Pergerakan Muslimah)

 

 

LenSa MediaNews__Berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, jika pesta demokrasi telah usai, RSJ mendadak banjir pasien. Kemungkinan besar hal ini pun akan terjadi pada Pemilu 2024 yang akan dilaksanakan serentak pada tanggal 14 Februari. Melihat kemungkinan tersebut, saat ini beberapa RS dan RSJ tengah menyiapkan ruangan khusus untuk caleg yang mengalami stres atau gangguan jiwa akibat gagal dalam kontestasi.

 

RS. Oto Iskandar Dinata misalnya, yang berlokasi di Soreang, Bandung, Jawa Barat ini sedang menyiapkan setidaknya 10 ruangan VIP. Begitu pun RSUD dr. Abdoer Rahiem Situbondo, Jawa Timur. Kedua RS tersebut tengah menyiapkan dokter spesialis jiwa, poli kejiwaan dan ruang rawat inap jiwa untuk caleg yang mengalami gangguan kejiwaan. (Kompas TV, 24-11-2023).

 

Caleg gagal lantas kena mental adalah bukti betapa pemilu dalam sistem demokrasi rawan menjadikan para kontestan mengalami gangguan mental. Hal ini disebabkan karena, pemilu dalam sistem demokrasi berbiaya sangat tinggi. Agar bisa maju, para kontestan dipaksa untuk meyiapkan biaya yang tidak sedikit. Sebagaimana disampaikan oleh LPM FE UI, Caleg DPR RI saja harus mengeluarkan modal setidaknya berkisar antara Rp1,15 miliar—Rp4,6 miliar. Apalagi menjadi capres tentu butuh dana lebih dari itu.

 

Biaya-biaya tersebut digunakan untuk akomodasi ke daerah pemilihan, transportasi, penginapan, makan, dan lain-lain. Untuk biaya kampanye, produksi baliho, kaos, umbul-umbul, iklan, dan lain-lain. Belum lagi untuk. membiayai tim sukses, bantuan sosial, biaya pengumpulan massa, hingga biaya saksi. Karena itu, para kandidat agar bisa mencalonkan diri harus menguras isi kantongnya demikian dalam. Tak peduli harus berutang atau memanfaatkan sponsor. Inilah yang menyebabkan mereka akhirnya terkena mental akibat kegagalan yang menimpa dirinya.

 

Selain itu, dipastikan hampir semua caleg memiliki tujuan mendapatkan kekuasaan dan materi. Meskipun ada yang tulus ikhlas untuk membangun bangsa, bahkan ada yang ingin menerapkan syariat Islam, jumlahnya hanya sedikit saja. Keberadaan mereka pun akan tersingkir oleh mereka yang memiliki ambisi kekuasaan dan harta.

 

Mengamati lebih jauh atas segala yang terjadi pada setiap pemilu dalam sistem demokrasi, kita dapati bahwa para pemenang sama sekali tidak menjadi representasi rakyat. Kebijakan yang ditetapkan tidak ada yang pro terhadap rakyat. Slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanyalah bualan di siang bolong, yang tidak pernah terealisasi sama sekali. Kebijakan yang ada justru berputar pada kepentingan para oligarki saja. Maka dengan bergantinya presiden, siapa pun orangnya, kesejahteraan dan keadilan tidak akan pernah dirasakan oleh rakyat.

 

Hal ini membuktikan bahwa pesta demokrasi hanyalah alat legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan para oligarki. Rakyat seolah-olah turut serta dalam menentukan penguasa, padahal pemenangnya telah diatur, yakni dari kalangan mereka yang tunduk pada pengusaha. Hal ini pula yang menjadi sebab caleg makin depresi saat mengetahui suaranya dicurangi, namun tidak bisa berbuat apa-apa.

 

Sangat berbeda dengan pandangan Islam. Dalam Islam, kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT Siapa saja yang ingin mencalonkan diri untuk memegang kekuasaan dan jabatan, harus yakin akan mampu berlaku amanah dalam menjalankannya. Neraka balasannya apabila mereka tidak berlaku amanah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

“Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR Muslim).

 

Dalam Islam, jabatan negara harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Untuk itu, orang yang ingin memegang amanah jabatan, harus memahami agama juga harus taat kepada Allah. Dia harus memiliki tujuan meraih kekuasaan semata mecari rida Allah SWT. Sehingga kekalahan tidak akan mempengaruhi mentalnya karena yakin apa pun yang terjadi adalah yang terbaik.

 

Kontestasi dalam sistem politik Islam juga dilaksanakan secara sederhana. Tidak membutuhkan biaya besar. Para kandidat tidak perlu sampai menguras harta mereka, apalagi harus berutang ke sana ke mari. Baginya kekalahan tidaklah menjadi beban. Sehingga mereka akan terhindar dari depresi, karena mereka bukanlah orang-orang yang gila kuasa dan harta.

 

Demikianlah, pemilu dalam sistem demokrasi tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali hanya keburukan demi keburukan. Kembali pada sistem politik Islam merupakan sesuatu yang sangat urgen dilakukan saat ini agar kehidupan yang penuh kemuliaan akan tercapai oleh seluruh umat manusia.
Wallahu ‘alam bishshawab

Please follow and like us:

Tentang Penulis