Nafkah Diabaikan, Islam Menyelamatkan

Oleh: Yulweri Vovi Safitria

(Freelance Writer)

Lensa Media News–Menikah adalah satu kata yang diidamkan seorang manusia ketika usianya sudah menginjak dewasa. Terlepas mampu atau tidak untuk membina rumah tangga, menikah adalah keinginan karena itu adalah salah satu fitrah yang Allah berikan kepada setiap insan.

 

Memiliki keluarga idaman dan sukses menurut ukuran dunia pun menjadi idaman sebagian orang. Ya, sukses dalam hal duniawi adalah sebuah prestise. Oleh karenanya, ketika urusan duniawi tidak terpenuhi, sebagian orang memilih mengakhiri pernikahan, meski baru seumur jagung.

 

Bukan itu saja, peliknya persoalan rumah tangga membuat sebagian orang menyerah dan memilih jalan sendiri-sendiri. Ikatan yang dibangun di hadapan Allah dan disaksikan para malaikat lepas sudah karena tidak ada lagi kesamaan visi.

 

Sebagaimana dilansir dari batampos.com (16/1/2024),  angka perceraian di Batam meningkat setiap tahunnya. Bahkan, periode 1-15 Januari, sudah ada 133 kasus perceraian di Batam. Kasus tersebut didominasi cerai gugat sebanyak 102 perkara dan cerai talak atau yang diajukan oleh pihak laki-laki sebanyak 31 perkara. Perceraian tersebut didominasi oleh usia 25-40 tahun. Dari 133 kasus perceraian, 63 perkara sudah diputuskan pengadilan.

 

Sistem Hidup Tidak Punya Kasih Sayang

 

Dari banyak kasus perceraian yang terjadi, sebagian didominasi oleh persoalan nafkah. Ya, persoalan ekonomi memang urusan yang sangat pelik hari ini. Bagaimana tidak, ketika tahun terus berganti, kebutuhan hidup selalu merangkak naik.

 

Bahkan, hanya dalam hitungan bulan, biaya hidup terus bertambah karena mahalnya kebutuhan pokok, seperti sandang, pendidikan, dan kesehatan. Belum lagi biaya listrik, air, dan gas yang menuntut sebuah keluarga untuk bekerja ekstra guna memenuhi kebutuhan keluarga.

 

Di Batam khususnya, naiknya harga sejumlah bahan pokok membuat rakyat, khususnya ibu-ibu rumah tangga makin menjerit. Kesulitan hidup tentu makin dirasa, apalagi jika kepala rumah tangga berpenghasilan rendah. Jamak diketahui, laki-laki sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Berbeda dengan wanita, mereka dengan begitu mudahnya diterima bekerja, bahkan menjadi tenaga kerja ke negeri tetangga. Di sini rumah tangga makin diuji, ketika tak bersabar, maka semua diterabas.

 

Hal ini tidak lepas dari sistem hidup yang tidak memiliki rasa kasih dan sayang. Ya, sistem sekuler kapitalisme menggerus rasa kasih sayang antar dua insan yang sudah mengikat janji di hadapan Allah dan para malaikat-Nya. Paradigma kapitalisme hanya sebatas memenuhi urusan duniawi sehingga persaingan hidup pun begitu kentara.

 

Beragam tuntutan muncul dari pasangan, baik dari suami dan juga istri. Ketika tidak kunjung menemukan solusi terkait persoalan ekonomi, maka gugat cerai dianggap menyelesaikan persoalan. Padahal, jika sudah dikaruniai anak, perceraian tentu menjadi masalah baru lagi. Anak-anak akan kehilangan salah satu sosok orang tuanya, meski bertemu, tentu suasananya akan berbeda ketika masih serumah.

 

Dampak sistem kapitalisme sekuler makin dirasa ketika hak asuh anak dipegang sang bunda. Pemberian nafkah terhadap anak tidak menjadi prioritas sang ayah karena tidak adanya aturan yang mewajibkannya. Padahal, kewajiban memberi nafkah tetap di pundak ayah meski sudah berpisah.

 

Sistem yang Penuh Rahmat

 

Tentu berbeda dengan paradigma Islam. Islam memandang bahwa pernikahan adalah mitsaqan ghalizha, yaitu sebuah ikatan, perjanjian yang kuat, dan bukan main-main.

 

Oleh karena itu, sebelum menapaki jenjang pernikahan, setiap orang butuh persiapan. Bukan hanya persiapan finansial, tetapi yang paling utama adalah kesiapan mental, kesamaan visi dan misi untuk bersama di dunia hingga di surga. Semua itu dibangun atas landasan akidah Islam.

 

Allah juga memberikan petunjuk terkait hak dan kewajiban serta bersabar terhadap pasangan selama tidak bermaksiat terhadap Allah. Begitu pula dalam hal nafkah, suami wajib memberi nafkah istri dan anaknya sesuai dengan kemampuannya.

 

Ketika seorang suami menyadari bahwa nafkah adalah kewajibannya terhadap keluarga, tentu tidak terbersit untuk mengabaikan mereka. Istri juga diajarkan Islam untuk bersabar terhadap nafkah yang diberi suaminya.

 

Allah Swt. berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (TQS At-Thalaq: 7).

 

Oleh karena itu, umat perlu menyadari hak dan kewajiban dalam rumah tangga sehingga rasa sayang yang sudah terjalin sekian tahun, bahkan belasan hingga puluhan tahun tidak terbuang begitu saja karena persoalan nafkah. Umat perlu diatur oleh sistem Islam yang paripurna sehingga dengan aturan tersebut, pemikiran dan perasaannya pun akan sama, tidak hanya dalam rumah tangga, tetapi juga bermasyarakat dan bernegara. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis