Caleg Gagal Berujung Gangguan Mental
Oleh : Dwi Lis
(komunitas setajam pena)
Lensa Media News—Euforia pemilu kian terasa. Bahkan di sejumlah rumah sakit di Indonesia salah satunya Rumah Sakit Oto Iskandar Dinata, Soreang, Bandung, Jawa Barat, sudah menyiapkan ruangan khusus bagi caleg yang mengalami gangguan mental akibat gagal dalam pemilihan legislatif (Pileg) di pemilu 2024 mendatang (kompas.tv, 24/11/2023).
Sementara itu, di tempat yang berbeda Abdul Aziz selaku Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta juga meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk menyiapkan layanan konseling dan fasilitas kejiwaan sebagai langkah antisipasi. Hal ini sangat diperlukan jika menilik situasi dan kondisi dari pemilu – pemilu sebelumnya. Dan disinyalir akan terdapat banyak peserta caleg (calon legislatif) yang berpotensi terkena gangguan mental pacsa pemilu nanti (detik.com, 26/1/2024).
Sejatinya, banyaknya peluang peserta caleg yang mengalami gangguan mental pasca pemilu menunjukkan betapa bobroknya sistem demokrasi hari ini. Sebab dalam praktiknya, pemilu membutuhkan biaya yang tinggi. Alhasil, para caleg akan menguras harta pribadi atau bahkan mencari modal darimana saja termasuk dari para pengusaha.
Caleg akan berupaya untuk mendapatkan pinjaman dari pemilik modal, pastinya akan ada berbagai macam kesepakatan di antara kedua belah pihak. Sebab dalam demokrasi ada istilah “tidak akan ada makan siang yang gratis”. Maka sudah pasti ketika caleg lolos dan terpilih dalam pemilu, pemilik modal akan mendapat “balasan jasa”. Mereka akan menyetir para penguasa tersebut untuk membuat kebijakan – kebijakan yang menguntungkan bagi pemilik modal.
Di satu sisi ketika caleg tidak lolos dalam pemilihan, mereka akan tetap terbebani untuk mengganti dana kampanye. Maka hal ini tentu menjadi beban mental tersendiri bagi mereka, belum lagi ditambah lemahnya keimanan mereka akan takdirnya Allah terhadap hasil pemilihan. Hal inilah yang akan membuat mereka depresi dan mengalami gangguan mental.
Inilah potret karakter pemimpin dalam sistem demokrasi yang selalu haus akan materi dan kekuasaan. Pemilu dalam demokrasi yang jargonnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sejatinya hanyalah pepesan kosong belaka. Sementara itu, kinerja mereka yang seharusnya fokus untuk mengurusi urusan rakyat malah justru menyengsarakan rakyatnya melalui pembuatan kebijakan – kebijakan yang tak berpihak pada nasib rakyat.
Hal ini sangat kontradiktif dengan sistem Islam yang memiliki perspektif akhirat. Sistem Islam memandang bahwa kepemimpinan adalah sebagai amanah. Dimana nanti di akhirat akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT atas kepemimpinannya. Sementara proses pemilihan di dalam Islam tidak akan menghabiskan waktu dan biaya yang banyak. Sebab masa pemilihan pemimpin (Khalifah) dalam Islam hanya dibatasi tiga hari dalam kondisi normal. Inilah yang menjadikan pemilu di dalam Islam murah dan efektif.
Pemimpin dalam Islam adalah pemimpin yang akan menerapkan seluruh aturan Allah, sehingga membawa keberkahan dan rahmat seluruh alam. Maka sudah pasti dengan landasan yang benar dan proses pemilihan yang efektif, tidak akan ada cerita gangguan mental yang dialami oleh calon pemimpin karena gagal dalam pemilihan. Wallahualam bissawab. [LM/ry].