Jangan Ada “Machiavelli” di Antara kita

Oleh: Ummu Zhafran

Pegiat Literasi

 

Lensa Media News—Jelang hajatan lima tahunan harus diakui membuat suhu politik makin menghangat. Dari forum-forum debat yang digelar, ada saja hal menarik untuk dibahas. Para pengamat politik pun seperti tak habis-habisnya mengkaji dan mengupas beraneka pernyataan para kandidat dari berbagai sudut pandang.

 

Tak ketinggalan yang ramai ditanggapi tentu ucapan yang oleh sebagian pengamat dinilai sebagai terfenomenal dalam pemilihan kali ini. Apalagi kalau bukan kebolehan kampanye bagi Presiden. Dalam UU No.7/2017, hal tersebut boleh selama tidak menggunakan fasilitas jabatan dan menjalani cuti di luar tanggungan negara. Maklum jika dianggap fenomenal, karena yang sukar dipahami publik bagaimana mekanisme pengajuan izin cuti. Haruskah Presiden minta izin ke Presiden?

 

Baiklah, tulisan ini tidak untuk mengajak pembaca untuk bingung. Sama sekali tidak. Mari fokus saja pada apa yang disebut pada judul di atas. Tentang Machiavelli, figur kontroversial di zamannya. Seorang filsuf masa Renaissance, diplomat, dan seniman drama yang lahir di Florentina tahun 1467. Karyanya yang terkenal berjudul Sang Pangeran (Il Principe atau The Prince) ditulis tahun 1532, kerap dituding jadi rujukan bagi para politisi yang siap melakukan cara apa pun demi sampai pada kekuasaan (wikipedia).

 

Tidak mengherankan, dalam buku itu Machiavelli merumuskan teknik yang harus digunakan oleh para politisi yang ingin sukses meraih tujuan politiknya dengan tanpa mempertimbangkan moral. Etika dan unggah-ungguh? Tak ada dalam kamusnya. Apalagi istilah adab dan akhlak yang hanya terdapat dalam khazanah Islam, sudah tentu tak dikenal oleh Sang filsuf.

 

Lebih jauh, mengutip biografi yang dirilis laman berita skala nasional, buku itu memberikan pemahaman tentang perlunya kekejaman, dan sifat licik oleh penguasa. Para penganut teori Machiavelli ini kemudian dikenal dengan nama Machiavellian (kompas.com, 2018).

 

Jika direfleksikan dengan situasi perpolitikan belakangan ini, ajakan dalam judul di atas jadi relevan. Terlepas mana saja yang sudah menjelma jadi Machiavellian dan mana yang belum. Sangat disayangkan bila sampai ada yang demikian. Apalagi bagi seorang yang mengaku beriman pada Allah dan Rasul-Nya, halal dan haram sudah seharusnya jadi patokan.

 

Sebab semua perkataan dan perbuatan akan dihisab di hari kemudian. Tak ada yang bisa luput dari kamera Sang Maha Pencipta, Allah Swt.“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.” (TQS. Al-Fath : 17).

 

Terlihat betapa ayat di atas memerintahkan kita untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam setiap keadaan. Karena taat kepada keduanya niscaya berbalas surga dengan segala kenikmatannya yang tiada bandingnya dengan nikmat dunia.

 

Lebih lanjut, sebagai negeri dengan mayoritas muslim, penting bagi umat Islam sendiri untuk memahami bahwa kekuasaan dalam pandangan Islam bukan untuk kepentingan pribadi atau segelintir orang sehingga membuat seseorang merasa perlu menghalalkan segala cara. Tetapi kekuasaan adalah semata untuk menerapkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. secara totalitas tanpa pilih tanpa nanti. Dengan sendirinya tiada tempat bagi Machiavellian dalam Islam.

 

Di sisi lain, dari sirah kita belajar bahwa Nabi Muhammad saw. sebagai penutup para Nabi tidak hanya ditugaskan oleh Allah menjadi nabi dan rasul. Beliau juga menjadi kepala negara yang diperintahkan untuk menerapkan syariat Islam secara kafah untuk seluruh umat manusia.

 

Allah Swt. berfirman,“Hendaknya engkau memerintah mereka dengan apa (wahyu) yang telah Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka.” (TQS Al-Maidah: 49).

 

Di bawah kepemimpinan Baginda Nabi Muhammad saw. dan dukungan penuh sahabat yang mulia, Islam kemudian diterapkan secara menyeluruh di Madinah. Sampai akhirnya dakwah Islam menyebar dan mampu mengubah bangsa Arab yang terbelakang menjadi bangsa yang maju, memiliki peradaban agung, dan menorehkan sejarah dengan tinta emas.

 

Bahkan kemudian diteruskan oleh para Khalifah setelah Nabi saw. yang memimpin dunia selama kurang lebih 14 abad, dan menguasai 2/3 wilayah dunia di tiga benua, Asia, Eropa dan Afrika. Wallahua’lam. [LM/ry].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis