Kurikulum Merdeka Belajar, Merdeka Tak Belajar?
Kurikulum Merdeka Belajar, Merdeka Tak Belajar?
Oleh : Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
LenSaMediaNews.com – “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar!” resmi jadi tema peringatan Hardiknas tahun ini. Idealnya, setiap kali Hari Pendidikan tiba maka setiap kali itu pula bangsa ini diingatkan akan pentingnya sektor pendidikan. Sebab melalui pendidikan, masa depan negeri ini bisa dirajut. Siapa sangka yang terjadi justru sebaliknya. Nyaris tanpa henti kita disuguhi problem demi problem yang menyapa dunia pendidikan kita. Bullying, pergaulan bebas, kekerasan dan penyimpangan seksual bukan hal asing lagi.
Anehnya, alih-alih merumuskan solusi guna mengatasi sengkarut masalah seputar pendidikan, justru kurikulum merdeka belajar yang ingin digalakkan. Tentu secara konseptual, tak ada yang salah dengan kurikulum merdeka. Setidaknya menurut para pakar pendidikan dari berbagai perguruan tinggi ternama, salah satunya Universitas Gajah Mada, keunggulan Kurikulum Merdeka terdapat pada relaksasi mata pelajaran. Keleluasaan yang diberikan bagi satuan pendidikan dalam menyusun materi pembelajaran di sekolah dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kearifan lokal pada masing-masing daerah. Hal ini diharapkan bisa menumbuhkan kreativitas dari tenaga pengajar alias guru. (medcom.id, 18/4/2023)
Hanya saja, apa yang terjadi di lapangan bukan tanpa cela. Para aktivis yang tergabung dalam organisasi nirlaba Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) setidaknya berpendapat demikian. Bajik menilai Kurikulum Merdeka tak layak jadi Kurnas. Mereka juga meminta agar Kurikulum Merdeka dievaluasi secara menyeluruh sebab masih compang camping. (detik.com, 26/2/2024) Tentu yang paling menonjol dari sisi ketiadaan filosofi dan kerangka kurikulum yang seharusnya tertuang dalam naskah akademik yang membidani lahirnya suatu kurikulum.
Inilah yang jadi pertanyaan. Mengapa naskah akademik yang merupakan aspek mendasar bisa luput dari perhatian? Entah. Padahal akibatnya cukup krusial. Salah satunya, ketika kreativitas dipacu hingga menumbuhkan daya saing ketat atas nilai yang bersifat materi namun di sisi lain aspek pembinaan agama yang jadi basis pembentukan karakter malah terabaikan. Apakah ini yang diinginkan, merdeka belajar, merdeka dari belajar adab dan agama? Semoga tidak.
Memang di antara implementasi kurikulum Merdeka, terdapat Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang merupakan bentuk adopsi tujuan pendidikan nasional. Profil pelajar Pancasila terdiri dari enam dimensi, yaitu: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebhinekaan global, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif.
Sayangnya ketika secara paradigma, aromanya tetap berasas sekularisme kapitalisme, maka output yang dihasilkan akan jauh dari kepribadian Islami, beriman dan bertakwa seperti yang termaktub dalam tujuan pendidikan nasional sebelumnya. Ya, seluruh hal tersebut tak lain karena untuk menerjemahkan enam dimensi di atas akan berbeda tergantung asas dari kurikulum. Beriman dan bertakwa menurut asas sekularisme, bukanlah ketakwaan kepada Allah yang sebenar-benarnya, tidak pula taat pada hukum syariat sepenuhnya. Faktanya begitu.
Sebagai pemeluk agama mayoritas penduduk negeri bahkan dunia, tentu sangat tak layak umat muslim dibiarkan hidup dalam arus sekuler yang bukan habitatnya. Sebab bagaikan bumi dan langit, Islam sangat jauh berbeda dalam menyikapi persoalan hidup dibanding kapitalisme. Terlebih Islam datang dari Sang Maha Pencipta seluruh alam semesta yang tentunya Maha Tahu apa yang dibutuhkan makhluk ciptaan-Nya.
Ambil contoh persoalan pendidikan misalnya, Islam memandang pendidikan sebagai sarana terpenting mewujudkan generasi emas.
Maka Islam mewajibkan negara menerapkan sistem pendidikan yang menjadikan akidah Islam sebagai asasnya. Adapun tujuannya untuk mewujudkan manusia mulia dengan pola pikir dan sikap berdasarkan Islam. Untuk itu negara dalam hal ini Khalifah akan membuat kurikulum sesuai dengan pandangan Islam yaitu guna meraih rida Allah, bukannya mengejar cuan atau materi belaka.
Di antara mekanismenya yaitu pada tingkat dasar, anak-anak ditanamkan tentang akidah Islam dan adab agar paham mana yang benar dan salah, halal maupun haram. Pada tingkat lanjut, baru diberikan sains dan materi pendidikan yang mengandung muatan asing di luar Islam seperti bahasa dan sejarah.
Dalam proses belajar mengajar, para guru akan sungguh-sungguh mengajarkan ilmu untuk diamalkan agar bermanfaat bagi umat. Sebab guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa. Oleh karena dalam Islam, pekerjaan guru sangat diapresiasi. Ingat, Khalifah Umar bin Khattab pernah menggaji guru 15 dinar. (1 dinar = 4,25gram emas)
Demikianlah, Islam tak pernah main-main dalam mengatur sesuatu, apa pun itu. Tidak ada ceritanya, trial and error dalam hal yang urgen bagi umat. Asalkan diterapkan secara kafah, niscaya membawa berkah. Itu janji Allah.
Wallahua’lam bishowwab.