Ke Mana Gerangan Lenyapnya Naluri Keibuan?
Ke Mana Gerangan Lenyapnya Naluri Keibuan?
Oleh : Ummu Zhafran,
(Pegiat Literasi)
LenSaMediaNews.com – Tragis. Seorang Ibu di Belitung tega menenggelamkan bayi yang baru saja dilahirkannya. Alasannya, karena kawatir tidak cukup biaya untuk membesarkannya. (kumparan.com, 24/1/2024). Sebelumnya bocah SD usia 8 tahun juga ditemukan tewas mengenaskan dengan kepala terpenggal oleh tantenya sendiri. Sang tante gelap mata karena sejak lama telah memimpikan telepon genggam merek terbaru tetapi tidak punya cukup uang. (inews, 20/1/2024)
Memilukan, mengingat sosok Ibu dan Tante sejatinya adalah wanita yang telah dibekali Allah Swt. naluri keibuan. Fitrah yang diberikan sejak penciptaan tersebut tentu bertujuan memberi rasa aman dan nyaman bagi setiap anak yang berada dalam pengasuhannya. Namun mengapa sekarang seakan mudah saja hilang lenyap seperti tidak pernah dimiliki?
Memang, banyak faktor yang kerap dijadikan sebagai alasan. Selain faktor depresi karena beratnya beban ekonomi, ada juga yang disebabkan karena kesal dengan suami, hingga malu karena terjerumus pergaulan terlarang (zina). Namun yang utama dari semua itu tak ada yang lain selain rapuhnya iman.
Rapuhnya keimanan tentu bukan sepenuhnya salah pelaku. Memang, masing-masing diri kita kelak akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan di dunia. Tetapi bukankah tiada asap tanpa api? Bagaimana bisa seorang Ibu merasa tenang dan bahagia bila harga-harga kebutuhan, bahkan yang pokok semakin menjulang tinggi? Apalagi jika untuk diri sendiri saja tak tercukupi, lalu memantik depresi pada Ibu sehingga mengambil jalan pintas menghabisi nyawa si buah hati.
Nyata, maraknya kasus pembunuhan anak oleh ibu kandung maupun kerabat wanita sendiri adalah bukti gagalnya negara menjamin kesejahteraan bagi para Ibu khususnya dan keluarga pada umumnya. Tak perlu banyak basa-basi, ideologi kapitalisme yang mewarnai hampir di seluruh lini kebijakan di negeri ini hanya berkelindan di antara suatu kesengsaraan ke kesengsaraan lainnya.
Terlebih dengan berlandaskan pada sekularisme, kapitalisme perlahan tapi pasti menggerus keimanan yang idealnya menancap kokoh di benak kaum muslimin. Tentu dengan beragam cara dan sarana, mulai dari propaganda gaya hidup mewah, perilaku konsumtif yang apabila tak mampu, pinjaman daring yang notabene mengandung riba sudah siap menjerat. Seluruh hal tersebut di atas tak ubahnya seperti lingkaran setan yang risikonya mengikis keyakinan akan konsep rezeki semata di tangan Allah dan masa depan yang belum tentu menjadi milik kita.
Sungguh sangat disayangkan jika iman kemudian tergadai oleh sekularisme. Teringat sabda Rasulullah saw.,
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi)
Walau panas membara, keimanan dan ketaatan pada syariah yang kafah tetap harus digenggam karena hanya keduanya yang menjadikan hidup penuh makna, yaitu bahagia di dunia hingga kelak di akhirat.
Untuk itu, tiada pilihan lain selain kembali menjadikan Islam sebagai rujukan dan meninggalkan sekularisme- kapitalis. Oleh karena Islam memberikan solusi terbaik yang datang dari yang Maha Baik, Allah Swt. Untuk mewujudkan kesejahteraan kaum Ibu, misalnya. Allah telah meletakkan kewajiban mencari nafkah kepada para suami.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)
Jika suami tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam mencari nafkah, misalnya karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan atau telah wafat, maka kewajiban menafkahi kaum ibu beralih kepada walinya (ayah, paman, saudara laki-laki dari jalur ayah).
Islam bahkan mewajibkan negara mencari hingga memaksa pihak wali untuk memberikan nafkah kepada ibu dan anak-anaknya, agar kehidupan mereka tetap terjamin. Jika ternyata dari deretan pihak wali tidak ada yang mampu secara finansial untuk memberikan nafkah, maka negara mengambil alih kewajiban tersebut. Negara akan menanggung nafkah ibu beserta anak-anaknya dengan biaya yang diambil dari kas Baitul Mal.
Kisah yang menginspirasi sepanjang masa antara lain dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau pernah menetapkan kebijakan memberikan tunjangan yang awalnya hanya untuk bayi-bayi yang telah disapih, menjadi diberikan untuk setiap anak. Bukan hanya berupa susu gratis tapi seluruh kebutuhan anak tersebut. Berubahnya kebijakan ini bermula ketika beliau mendapati seorang ibu yang menyapih anaknya meski belum saatnya, demi mendapatkan santunan dari negara.
Pada akhirnya, mekanisme Islam dalam memberi jaminan kesejahteraan bagi kaum Ibu adalah fakta yang tidak terbantahkan. Sementara sampai saat ini kapitalisme selalu gagal mewujudkannya. Sudah saatnya umat bersatu guna memperjuangkan satu-satunya yang mampu menghantarkan ke arah sana. Yaitu Islam kafah, warisan penutup para Nabi, Rasulullah saw.
Wallahua’lam bishowwab.