Kontradiksi Indeks Pembangunan Gender Dalam Sistem Kapitalisme
Oleh : Riri Rindu
Lensa Media News–Pembahasan mengenai Indeks Pembangunan Gender (IPG) berada pada wacana kesetaraan gender. Pasalnya, IPG dijadikan salah satu alat ukur terkait berbagai regulasi yang dilakukan dalam menangani masalah ketimpangan gender.
IPG diharapkan untuk memberikan gambaran kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Semakin kecil jarak angka IPG dengan nilai 100, maka semakin setara pembangunan antara laki-laki dan perempuan ( pusaka. magelangkab.go.id, 03/11/2023).
Sementara itu, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahwa selama 2023, perempuan semakin berdaya yang ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender (antaranews.com, 06/01/2024).
Hakikatnya, gambaran IPG belum bisa mewakili fakta kesenjangan di masyarakat. Meskipun posisi perempuan telah mengisi berbagai posisi strategis ditempat kerja, bahkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif meningkat, masih belum bisa menghapus realitas masalah perempuan di masyarakat.
Berbagai masalah masih ditemukan di masyarakat, seperti angka perceraian masih melonjak tinggi. Bahkan setidaknya ada 516 ribu pasangan yang bercerai setiap tahun. Sementara disisi lain angka pernikahan mengalami penurunan (republika.com, 22/09/2023). Dapat dibayangkan dampak dari perceraian tersebut pada generasi.
Selain maraknya angka perceraian, isu KDRT dan pelecehan seksual pun masih marak. Ditambah kesenjangan ekonomi yang ada menambah daftar panjang keruwetan masalah yang berkaitan dengan perempuan.
Oleh karena itu, butuh dikenali penyebab utama persoalan perempuan. Apakah benar semata-mata masalah berkaitan dengan perempuan saja atau bersifat sistemik? Kenyataannya pada saat ini, masalah hidup tidak hanya menimpa perempuan tapi juga laki-laki.
Sehingga masalah perempuan itu bukanlah diakibatkan adanya ketimpangan gender tapi akibat paradigma sistem kapitalisme yang menempatkan perempuan berdaya jika aktif berperan dalam hal yang berkaitan dengan materi.
Sehingga, butuh disadari bahwa sistem kapitalisme memang tidak rasional untuk dijadikan sistem hidup. Karena sistem ini menempatkan tolak ukur baik buruk pada timbangan materi semata dan memandang rendah pada aspek spiritual.
Maka akibatnya peran perempuan dinilai tidak berdaya jika minim kiprahnya secara materi. Sehingga solusi yang dirumuskan adalah peran perempuan sebesar-besarnya di berbagai lini.
Disisi lain, peran penguasa tidak lagi menjadi pengurus masyarakat yang mengakibatkan pemenuhan kebutuhan diserahkan pada masing-masing individu.
Hal ini menjadikan perempuan harus berperan aktif untuk berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk menutupi kegagalan sistem kapitalisme yang abai terhadap urusan umat. Sehingga posisi perempuan menjadi kompleks dan tidak sedikit menimbulkan masalah yang harus dihadapi.
Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan paradigma Islam. Dalam Islam, perempuan dimuliakan dan harus dijaga kehormatannya. Perempuan tidak dinilai berdaya atau tidak dari materi. Karena dalam Islam kedudukan laki-laki dan perempuan sama saja kecuali yang membedakannya itu adalah ketakwaan.
Jadi, perempuan dinilai produktif dan berdaya ketika banyak melakukan amal shalih dan ketaatan pada Allah SWT dalam berbagai perannya.
Sebagaimana Allah swt. berfirman yang artinya:” Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (TQS an-Nisa : 32). Wallahualam bissawab. [LM/ry].